Mohon tunggu...
Ariani Kartika
Ariani Kartika Mohon Tunggu... Freelancer - Sudah keluar dari pekerjaan 9-5

Suka menulis dan membuat sabun artisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dua Ibu

30 Desember 2023   19:49 Diperbarui: 30 Desember 2023   20:04 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nita memandang keluar jendela. Gedung-gedung tinggi disepanjang jalan protokol ibu kota tampak angkuh. Berbagai jenis mobil  berjalan lambat merayap, memenuhi jalan protokol yang memuat 3 lajur kendaraan.

Sudah sampai mana?” Pesan singkat WA  muncul di layar hp.

Sebentar lagi.”

Dari tadi sebentar lagi. Sudah sampai mana?

Sudah dekat kantor Mama, tapi macet.

Lalu tidak ada respon.

Biasanya Nita tidak suka kemacetan, tapi kali ini dia berharap taxi online yang ditumpanginya tidak akan sampai di lobby gedung besar yang hanya beberapa ratus meter di depan.Namun perlahan tapi pasti, akhirnya taxi online yang ditumpangi berhasil masuk ke lobby gedung.

Seseorang dari kantor ibunya sudah menunggu di lobby untuk membantu Nita agar bisa naik ke level 40. Untuk bisa masuk ke gedung tinggi yang angkuh itu  perlu kartu pengenal yang biasa diberikan kepada karyawan yang berkantor di gedung itu.

Nita bukan karyawan, dia hanya seorang anak karyawan yang berkantor di gedung itu. Lebih tepatnya anak seorang direktur utama sebuah perusahaan multinastional yang bermarkas disana.

Memasuki kantor di lantai 40 Nita mencium bau khas gedung tinggi. Campuran bau furniture, cat dinding, kertas dinding, wangi parfum karyawan ketika tiba di pagi hari, bau campuran asap debu dan makanan yang menempel dibaju ketika mereka kembali dari makan siang di warung-warung pinggir jalan, bau seduhan kopi sachetan dan bau pewangi ruang. Semua bau itu tercampur di udara  yang disaring berulang kali, sebelum kembali dimasukan ke dalam ruang tertutup.

“Akhirnya kamu sampai,” sambut ibunya ketika Nita memasuki ruang kerjanya yang luas dan berjendela lebar menghadap jalan protokol.

“Maaf Ma….macet.”

“Kamu tahu Jakarta selalu macet, harusnya kamu pergi lebih awal.”

Nita diam saja, ibunya tidak pernah terlepas melihat kesalahan pada dirinya.

Ibunya tersenyum tipis lalu bangkit dari kursi, berjalan kearah Nita seraya menjulurkan kedua tangannya.

Seperti biasa Nita balas memeluk ibunya dengan sedikit kikuk.

Sebuah insiden kecil terjadi ketika Nita kecil dulu. Saat itu dia  sedang bermain  lari-larian di taman belakang rumah. Badannya berbau kecut keringat dan bajunya kotor dengan noda tanah. Ketika melihat ibunya sudah berdandan rapi, cantik dan wangi tanda bersiap untuk pergi,  segera Nita berlari kearah ibunya minta dipeluk.

“Nanti sayang, baju Mama nanti kotor,” tolak ibunya sambil berlalu pergi.

Mungkin ibunya sudah melupakan kejadian itu, tapi insiden itu meninggalkan trauma bagi Nita. Sejak itu Nita selalu risau, apakah dia sudah cukup wangi dan bersih untuk menerima pelukan ibunya.

“Sayang….Mama tahu kamu tidak suka berdandan, tapi kamu perlu sedikit sentuhan make-up untuk sesi foto kita,” kata ibunya sambil memandang wajah Nita yang polos tanpa make-up.

Seorang make-up artis sudah disiapkan  langsung beraksi dan beberapa menit kemudian wajah Nita sudah berubah seperti penampilan para influencer yang kerap tampil di media social.

Hari itu Nita dan ibunya melakukan sesi pemotretan untuk melengkapi artikel di sebuah majalah binis ternama. Artikel tentang bagaimana ibunya, seorang perempuan  yang bisa memadukan peran menjadi seorang  ibu dan  wanita karier hingga bisa menduduki posisi puncak  di sebuah perusahaan internasional.

“Mbak Nita pasti bangga dengan Mama,” kata fotografer setelah sesi pemotretan.

“Ya tentu saja saya bangga. Mama telah menjadi role-model bagi banyak perempuan-perempuan muda  bahwa menjadi seorang ibu tidak menghalangi untuk mengejar karier. Dengan adanya kesetaraan gender, kesempatan terbuka luas bagi para perempuan.”

Nita tidak berbohong, dia benar-benar meyuarakan apa yang dia rasakan.

“Apakah mbak Nita juga ingin berkarier seperti Mama?”

Nita menjawabnya dengan tawa kecil.

                                                                                                                             @@@@@

Setelah perjalanan panjang dari Jakarta, akhirnya Nita sampai pada sebuah rumah di desa di luar kota Jogja. Nita selalu datang ke rumah ini jika dia merindukan seseorang atau sekedar ingin berganti suasana dari Jakarta yang ruwet.

Nita mengetuk pintu dan tidak perlu berapa lama untuk seseorang dari dalam rumah untuk membukakan pintu.

Cah ayu…..”

Mamak…..” Tanpa ada rasa kikuk Nita memeluk perempuan berusia diawal enampuluhan yang dia panggil mamak.

Berbeda dengan ibunya, mamak tidak peduli apakah Nita bau asem keringat atau harum wangi setelah mandi, perempuan itu tidak pernah ragu untuk memeluk dan mencium Nita. Dan Nita lebih nyaman dengan wangi tubuh mamak yang berbau campuran antara keringat dan asap masakan di dapur, dibandingkan dengan wangi mewah dan mahal dari ibunya.

Mamak, seorang perempuan desa janda dua anak,  adalah perempuan yang mengasuh Nita sejak kecil.Ibu Nita terpaksa mendelegasikan sebagian pengasuhan Nita kepada mamak agar bisa lebih fokus memanjat tangga karier. Ironisnya, mamak terpaksa menitipkan dan meninggalkan kedua anaknya pada orang tuanya di desa agar dia bisa menjadi pengasuh Nita.

“Kenapa kamu makin kurus?” tanya mamak setelah melepas pelukannya.

“Saya diet, badan sudah melar.”

“Jangan diet-diet, nanti sakit. Mamak sudah siapkan masakan kesukaan kamu. Ayo makan.”

Nita tersenyum, memberi makan adalah bahasa cinta mamak.

Nita beruntung memilik dua ibu. Mama, ibu kandungnya, yang membuka jendela intelektualitas untuknya. Dan mamak, ibu asuhnya, yang memberi kehangatan yang tidak dia dapatkan dari ibu kandungnya. Nita mencintai keduanya dalam porsi dan cara yang berbeda.

Selamat Hari Ibu untuk mama dan juga mamak.

Jogja, 30 Desember 2023

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun