Nita memandang keluar jendela. Gedung-gedung tinggi disepanjang jalan protokol ibu kota tampak angkuh. Berbagai jenis mobil berjalan lambat merayap, memenuhi jalan protokol yang memuat 3 lajur kendaraan.
“Sudah sampai mana?” Pesan singkat WA muncul di layar hp.
“Sebentar lagi.”
“Dari tadi sebentar lagi. Sudah sampai mana?”
“Sudah dekat kantor Mama, tapi macet.”
Lalu tidak ada respon.
Biasanya Nita tidak suka kemacetan, tapi kali ini dia berharap taxi online yang ditumpanginya tidak akan sampai di lobby gedung besar yang hanya beberapa ratus meter di depan.Namun perlahan tapi pasti, akhirnya taxi online yang ditumpangi berhasil masuk ke lobby gedung.
Seseorang dari kantor ibunya sudah menunggu di lobby untuk membantu Nita agar bisa naik ke level 40. Untuk bisa masuk ke gedung tinggi yang angkuh itu perlu kartu pengenal yang biasa diberikan kepada karyawan yang berkantor di gedung itu.
Nita bukan karyawan, dia hanya seorang anak karyawan yang berkantor di gedung itu. Lebih tepatnya anak seorang direktur utama sebuah perusahaan multinastional yang bermarkas disana.
Memasuki kantor di lantai 40 Nita mencium bau khas gedung tinggi. Campuran bau furniture, cat dinding, kertas dinding, wangi parfum karyawan ketika tiba di pagi hari, bau campuran asap debu dan makanan yang menempel dibaju ketika mereka kembali dari makan siang di warung-warung pinggir jalan, bau seduhan kopi sachetan dan bau pewangi ruang. Semua bau itu tercampur di udara yang disaring berulang kali, sebelum kembali dimasukan ke dalam ruang tertutup.