Dari balik ruang konsultasi...
"Kenapa ya sekarang saya merasa mudah sekali marah, gak bisa dengar kalau anak  merengek, bawaannya ingin teriak".
"Sepertinya sudah tiga bulan terakhir ini, saya merasa mudah lelah, sulit konsentrasi, mudah lupa dan susah tidur"
"Saya bawaannya kok capek banget, padahal gak ngapa-ngapain... sudah sebulanan ini"
Pernahkah anda merasakan hal serupa? Ungkapan-ungkapan tersebut menyiratkan adanya perubahan yang dirasakan pada diri dari tanda-tanda yang diberikan oleh emosi, pikiran, fisik ataupun ketubuhan seseorang.Â
Selain itu, dari pernyataan tersebut, kita dapat lihat bahwa "kesadaran" akan adanya suatu perubahan yang dialami, ternyata membutuhkan waktu yang tidak sama pada setiap orang. Ada yang membutuhkan waktu mingguan tetapi ada yang baru menyadarinya setelah berbulan-bulan. Bahkan bisa terjadi lingkungan atau orang terdekat yang terlebih dulu mengenali perubahan tersebut.
Suatu perubahan sangat mungkin terjadi karena kehidupan yang kita jalani memang bukanlah suatu keadaan yang statis. Setiap perubahan akan menimbulkan keadaan yang tidak seimbang atau dikenal dengan kondisi stres.Â
Stres pada dasarnya bersifat netral, namun dapat berdampak positif atau negatif tergantung pada persepsi orang yang mengalaminya dan kadar dari sumber stress itu sendiri. Bagaimanapun juga, secara alamiah setiap orang akan berupaya menemukan keseimbangannya kembali.
Saat suatu perubahan menimbulkan pikiran, perasaan atau ketubuhan yang bersifat negatif, sebenarnya hal tersebut menandakan alarm mental kita sedang aktif atau menyala. Mengapa demikian? Karena kondisi mental selalu terkait dengan kerja pikiran, emosi dan ketubuhan seseorang. Sehingga dengan mengamati sinyal dari tiga unsur tersebut, kita dapat mengetahui kondisi mental diri sendiri. Sayangnya pada beberapa orang sinyal tersebut sering diabaikan, kurang diperhatikan bahkan tidak diakui keberadaannya.
Ungkapan seperti "ah kok jadi begini, cemen ini namanya" di saat kita sebenarnya merasa sedih dan mau menangis. Atau "saya kuat kok, saya gak apa-apa" , di saat kita merasa sangat syok, detak jantung juga terasa sangat kuat menghadapi situasi tertentu. Ungkapan-ungkapan demikian, merupakan bentuk respon yang tidak jujur dalam menanggapi alarm mental yang sedang aktif.Â
Padahal sebagaimana fungsi suatu alarm, sinyal diberikan untuk kita perhatikan, terima dan selanjutnya dimanfaatkan untuk mempermudah urusan kita. Begitu pula dengan fungsi alarm mental, saat memberikan sinyal, maka respon kita sebaiknya juga dengan mengamati, menerima dan memanfaatkannya untuk memahami diri lebih baik. Oleh karenanya kesadaran diri memiliki peran penting bagi seseorang untuk melakukan perubahan atau memperbaiki diri.
Kesadaran Diri Terhadap Emosi
Menurut Daniel Goleman (2003) kesadaran diri merupakan cara untuk mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.Â
Sedangkan Solso dkk (2007) mengungkapkan bahwa kesadaran diri merupakan sebuah kesiapan seseorang terhadap peristiwa yang ada di lingkungan sekitar, maupun peristiwa yang bersifat kognitif yang terdiri dari pikiran, memori, sensasi fisik, dan juga perasaan.Â
Dengan kesadaran diri yang baik, kita akan lebih mudah untuk bisa merefleksikan diri, menggali pengalaman, mengamati, dan juga mengendalikan emosi. Oleh karenanya, Tasha Eurich PhD juga menyatakan bahwa seseorang yang memiliki kesadaran diri, dinilai lebih percaya diri dan lebih sukses dalam relasi maupun pekerjannya.
Kesadaran diri terhadap unsur emosi mempunyai pengaruh yang besar pada upaya seseorang beradaptasi dari suatu perubahan. Sebagaimana asal katanya dari bahasa latin yaitu emovere  yang berarti sesuatu hal yang bergerak atau dapat diekspresikan keluar maka emosi perlu dirasakan (disadari) serta butuh dialirkan (diekspresikan).Â
Selain itu emosi juga berarti motif; emosi dapat dipergunakan untuk menyalurkan motif seseorang. Dengan demikian, setiap emosi itu membawa "pesan" dari kebutuhan internal kita yang sedang terusik. Jadi jika kita mampu mengenali dan menyadari emosi yang terjadi, kita akan mengetahui apa yang dibutuhkan untuk dipenuhi.
Bagaimana cara menyadari emosi? Merujuk pada pengertiannya, emosi adalah suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak (Goleman, 2003). Jadi dapat dikatakan emosi mencakup respon perpaduan dari pikiran, ketubuhan/fisik dan tindakan terhadap suatu situasi. Contoh, saat kita merasa cemas, pikiran akan dipenuhi antisipasi, fisik bisa jadi bergetar dan menampilkan perilaku mondar-mandir.
Emosi juga melibatkan unsur biologis, yang melibatkan kerja hormon, sistem syaraf, jantung, pernafasan dll. Oleh karenanya respon emosi juga akan dirasakan secara ketubuhan. Misal saat marah, kita bisa merasakan nafas lebih cepat atau sakit kepala. Oleh karena itu melalui pengamatan dari reaksi ketubuhan atau fisik, kita dapat melatih akan kesadaran tentang kondisi emosi yang dialami.
Termometer Emosi Sebagai Pengendali Diri
Sebetulnya termometer emosi merupakan bentuk analogi dari aktivitas kesadaran diri kita mengenali kondisi emosi melalui reaksi ketubuhan.Â
Pengenalan diri akan kenaikan intensitas pada ketubuhan kita dibutuhkan untuk mencegah terjadinya perilaku yang tidak terkontrol. Seperti termometer tubuh, saat kita mengetahui suhu bertambah tinggi maka kita dapat melakukan tindakan tertentu agar tidak terjadi kejang.Â
Pada termometer emosi, titik kejang yang dimaksud adalah suatu kondisi kritis dimana kita tidak dapat mengendalikan diri. Akibatnya kita akan melakukan tindakan yang merugikan diri atau orang lain atau lingkungan seperti self harm, menyerang orang lain atau merusak barang.Â
Bahkan kita bisa juga melanggar aturan norma sosial/ agama seperti melakukan perselingkuhan, vandalisme atau narkoba. Â Oleh karenanya menjadi penting untuk mengamati perubahan intensitas ketubuhan sebelum mencapai titik kritis agar dapat melakukan tindakan pencegahan terjadinya perilaku yang merugikan.
Langkah yang dapat kita ambil setelah menyadari termometer emosi kita meningkat adalah dengan memberi "jeda" atau time out dengan melakukan aktivitas menurunkan intensitas emosi tersebut. Antara lain dengan melakukan deep breathing/ olah nafas, aktivitas mindful, minum air putih atau melakukan aktivitas fisik. Saat intensitas emosi menurun atau sudah lebih tenang maka kita akan dapat berpikir dan berespon yang sehat.Â
Contoh, saat kita sedang berkonflik dengan pasangan dan kita merasakan intensitas ketubuhan meningkat, tidak ada salahnya melakukan time out hingga tenang. Untuk itu perlu disepakati sebelumnya (saat tidak ada konflik) maksud time out tersebut diantara pasangan. Dengan memperhatikan termometer emosi, pikiran dan perilaku menjadi lebih terkendali sehingga mampu menyikapi suatu perubahan secara sehat.
Daftar Pustaka
Goleman, Daniel. 2003. Emotional Intelligence. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
https://www.gramedia.com. Lely Azizah. Self Awareness : Kesadaran Diri Dalam Memahami Kemampuan Diri
http://www.myorangehr.com. Cara membangun self awareness pada lingkungan kerja.
https://id.wikipedia.org/wiki/Emosi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H