Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menyoroti Ketidakadilan Gender dalam Penanganan Nyeri

8 Maret 2024   18:43 Diperbarui: 10 Maret 2024   00:32 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu yang lalu, seorang teman semasa kuliah S1 meminta saya untuk menuliskan tentang pengalaman nyeri pada perempuan yang sering diabaikan dan diremehkan. 

Ya, perempuan begitu sering mengalami kesulitan dalam mendapatkan pengakuan, apalagi penanganan yang memadai terhadap pengalaman nyeri mereka. 

Banyak kasus di mana keluhan nyeri pada perempuan dianggap hanya sebagai ekspresi atau limpahan atau luapan atas emosi yang berlebihan, dan tak jarang bahkan berujung diabaikan oleh para tenaga kesehatan. 

Dianggap manja, pura-pura, hanya mencari perhatian, dan lain sebagainya. Menyakitkan tentu saja karena hal ini menciptakan lingkungan yang tidak adil dan begitu merugikan, di mana perempuan berada di dalam situasi tidak didengar dan diabaikan dalam upaya mereka mendapatkan pelayanan kesehatan. 

Menjadi kontras jika laki-laki yang menyampaikan pengalaman rasa nyerinya, semua orang sontak akan berpikir bahwa nyeri yang ia tunjukkan tentu sesuai dengan nyeri yang benar-benar dirasakan karena sosok laki-laki sering dikaitkan dengan mereka yang selalu harus terlihat kuat dan mampu menahan nyeri, sehingga saat ia bercerita mengenai pengalaman nyerinya terlebih ke fasilitas kesehatan, itu adalah nyeri yang kiranya sudah tak terbendung lagi.

Patut dicatat, nyeri adalah pengalaman manusia yang kompleks. Setiap orang pun memiliki ambang nyeri yang berbeda-beda. Ada yang memiliki ambang rendah, ambang sedang, hingga ambang yang cukup tinggi. 

Sayangnya, belum banyak yang menyadari konsep ambang nyeri setiap orang yang berbeda-beda beserta pengalaman subjektif yang menyertai di dalamnya. Dengan demikian, tentu saja tidak dapat dibenarkan jika seorang individu dengan sewenang-wenang mencoba menghakimi rasa nyeri individu yang lain. Proses menghakimi ini akan mengarah pada situasi ketidakadilan.

Salah satu contoh nyata dari ketidakadilan ini misalnya pernah saya temui saat saya berjaga di klinik, seorang perempuan dengan nyeri menstruasi yang ia tuturkan begitu sakit rasanya, namun tak pernah digubris saat ia mencoba menyampaikan keluhannya ke fasilitas kesehatan layanan primer yang ia datangi sebelumnya. 

Ia akhirnya didiagnosis dengan endometriosis di fasilitas kesehatan tingkat lanjut setelah melakukan serangkaian pemeriksaan pencitraan terkait rahimnya. 

Dari cerita ini, merefleksikan bahwa banyak perempuan yang harus menghadapi perjuangan panjang untuk mendapatkan diagnosis yang tepat, mengingat seringkali keluhan mereka dianggap sebagai hal yang wajar dalam siklus menstruasi atau disalahartikan sebagai masalah psikologis semata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun