Beberapa waktu yang lalu, seorang teman semasa kuliah S1 meminta saya untuk menuliskan tentang pengalaman nyeri pada perempuan yang sering diabaikan dan diremehkan.Â
Ya, perempuan begitu sering mengalami kesulitan dalam mendapatkan pengakuan, apalagi penanganan yang memadai terhadap pengalaman nyeri mereka.Â
Banyak kasus di mana keluhan nyeri pada perempuan dianggap hanya sebagai ekspresi atau limpahan atau luapan atas emosi yang berlebihan, dan tak jarang bahkan berujung diabaikan oleh para tenaga kesehatan.Â
Dianggap manja, pura-pura, hanya mencari perhatian, dan lain sebagainya. Menyakitkan tentu saja karena hal ini menciptakan lingkungan yang tidak adil dan begitu merugikan, di mana perempuan berada di dalam situasi tidak didengar dan diabaikan dalam upaya mereka mendapatkan pelayanan kesehatan.Â
Menjadi kontras jika laki-laki yang menyampaikan pengalaman rasa nyerinya, semua orang sontak akan berpikir bahwa nyeri yang ia tunjukkan tentu sesuai dengan nyeri yang benar-benar dirasakan karena sosok laki-laki sering dikaitkan dengan mereka yang selalu harus terlihat kuat dan mampu menahan nyeri, sehingga saat ia bercerita mengenai pengalaman nyerinya terlebih ke fasilitas kesehatan, itu adalah nyeri yang kiranya sudah tak terbendung lagi.
Patut dicatat, nyeri adalah pengalaman manusia yang kompleks. Setiap orang pun memiliki ambang nyeri yang berbeda-beda. Ada yang memiliki ambang rendah, ambang sedang, hingga ambang yang cukup tinggi.Â
Sayangnya, belum banyak yang menyadari konsep ambang nyeri setiap orang yang berbeda-beda beserta pengalaman subjektif yang menyertai di dalamnya. Dengan demikian, tentu saja tidak dapat dibenarkan jika seorang individu dengan sewenang-wenang mencoba menghakimi rasa nyeri individu yang lain. Proses menghakimi ini akan mengarah pada situasi ketidakadilan.
Salah satu contoh nyata dari ketidakadilan ini misalnya pernah saya temui saat saya berjaga di klinik, seorang perempuan dengan nyeri menstruasi yang ia tuturkan begitu sakit rasanya, namun tak pernah digubris saat ia mencoba menyampaikan keluhannya ke fasilitas kesehatan layanan primer yang ia datangi sebelumnya.Â
Ia akhirnya didiagnosis dengan endometriosis di fasilitas kesehatan tingkat lanjut setelah melakukan serangkaian pemeriksaan pencitraan terkait rahimnya.Â
Dari cerita ini, merefleksikan bahwa banyak perempuan yang harus menghadapi perjuangan panjang untuk mendapatkan diagnosis yang tepat, mengingat seringkali keluhan mereka dianggap sebagai hal yang wajar dalam siklus menstruasi atau disalahartikan sebagai masalah psikologis semata.
Stereotip gender juga memainkan peran penting dalam mendiskreditkan nyeri perempuan. Budaya yang mengasosiasikan perempuan dengan kelemahan atau ketidaktertahanan sering kali mempengaruhi pandangan terhadap pengalaman nyeri perempuan.Â
Ketika seorang perempuan mengungkapkan rasa nyerinya, seringkali tanggapannya dipandang dengan skeptisisme atau bahkan dianggap sebagai bentuk histeria atau dramatisasi.Â
Hal ini menciptakan lingkungan di mana perempuan merasa tidak nyaman untuk berbicara tentang nyeri mereka, karena takut akan diremehkan atau tidak dipercaya. Akibatnya, banyak perempuan menderita dalam kesunyian tanpa dukungan.
Mendiskreditkan rasa nyeri perempuan memiliki konsekuensi serius, baik secara sosial maupun medis. Secara sosial, hal ini tentu saja semakin memperkuat bukti nyata ketidaksetaraan gender yang terus menggerus perempuan.Â
Perempuan dihambat dalam mengakses pelayanan kesehatan yang tepat dan cepat untuk mereka, terus didorong untuk menahan diri dari mengungkapkan pengalaman mereka, yang pada gilirannya dapat berdampak negatif pada kesejahteraan fisik dan mental mereka.
Mendiskreditkan rasa nyeri perempuan tentu saja merupakan masalah serius yang memerlukan perhatian dan tindakan segera. Penting bagi kita semua, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat, untuk mengakui dan menghormati pengalaman nyeri siapapun tanpa terkecuali, baik perempuan maupun laki-laki.Â
Kita harus bekerja sama untuk menghilangkan stereotip gender yang merugikan dan memastikan bahwa semua orang, tanpa memandang jenis kelamin, mendapatkan penanganan nyeri yang tepat dan sensitif. Hanya dengan cara ini kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih adil, inklusif, dan berempati bagi semua orang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI