Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Walau demikian ia menular, ia merupakan penyakit yang dapat disembuhkan. Ia memiliki alur diagnosis yang telah ditetapkan secara jelas hingga telah memiliki obat yang terbukti memberikan kesembuhan. Dengan demikian, tiada cara lain selain menyediakan akses untuk memperoleh diagnosis dan tatalaksana terhadap TB yang merata ke seluruh individu tanpa kecuali untuk mengurangi angka tingkat dan beban penyakit TB di Indonesia.
Faktanya, di tahun 2015, menurut laporan Global Tuberculosis Report oleh World Health Organization, dari 10,4 juta kasus TB yang ada pada tahun 2015, hanya 6 juta di antaranya yang dilaporkan. Hal ini lalu menunjukkan kepada kita bahwa terdapat sejumlah besar pasien TB yang menghilang atau tidak teridentifikasi.Â
Tentu saja yang kemudian menjadi pertanyaan, kemanakah mereka yang tak teridentifikasi tersebut? Apakah terdapat kendala pada pasien itu sendiri dalam kemauannya dan keputusannya untuk memeriksakan tanda yang muncul serta gejala yang ia rasakan ke pelayanan kesehatan? Ataukah mungkin pasien-pasien tersebut telah sigap memeriksakan kesehatannya namun sistem kesehatan yang ada menghambatnya, seperti hambatan oleh kapasitas diagnostik dan tatalaksana masing-masing pelayanan kesehatan? Apakah seluruh masyarakat memperoleh akses menuju diagnosis dan tatalaksana terhadap TB yang merata?
Menurut penelitian oleh Hanson et al pada tahun 2017, disebutkan bahwa 76% dari pasien yang ia teliti di lima negara, termasuk Indonesia, melakukan kunjungan pada pelayanan kesehatan yang tidak memiliki kapasitas atau kemampuan untuk mendiagnosis TB. Hal ini sejalan dengan pengalaman yang terjadi pada saat saya bekerja sebagai dokter di salah satu Puskesmas di Provinsi Kalimantan Selatan.Â
Beberapa kali saya menetapkan beberapa pasien saya sebagai pasien presumtif TB atau pasien-pasien yang secara klinis saya curigai sebagai TB dan untuk melakukan diagnosis pasti memerlukan pemeriksaan penunjang, setidaknya dengan pemeriksaan dahak yang disebut dengan Bakteri Tahan Asam atau BTA, tak berhasil saya identifikasi di saat itu juga, dikarenakan Puskesmas dimana saya ditempatkan bekerja saat itu hanya memiliki mikroskop yang digunakan sebagai pajangan alias tidak berfungsi.Â
Akhirnya, dengan berat hati saya berikan penjelasan yang panjang kepada pasien untuk berangkat ke Puskesmas yang terletak di kecamatan sebelah yang memiliki fasilitas BTA dan mikroskop yang berfungsi tentu saja. Padahal, tak menutup kemungkinan, pasien-pasien yang telah saya curigai sebagai TB tersebut kemudian tak mengindahkan apa yang saya sarankan kepadanya atas berbagai pertimbangan yang ada di kepalanya. Mereka lah kemudian yang disebut pasien-pasien tuberkulosis yang menghilang.
Selain tidak terdapatnya kapasitas untuk melakukan pemeriksaan penunjang dalam mendiagnosis TB di pelayanan kesehatan publik seperti pada beberapa Puskesmas yang sebenarnya juga menunjukan betapa senjangnya ketersediaan akses menuju kesehatan antara satu individu dengan individu yang lain, masalah terkait akses menuju diagnosis TB juga kiranya dialami oleh pasien yang memilih berobat di klinik swasta. Pada praktik di lapangan, banyak dari masyarakat memilih berobat di klinik swasta.Â
Jika ditanyakan apa alasannya, kebanyakan akan menjawab bahwa preferensinya terhadap klinik swasta dilandaskan atas dasar kenyamanan. Pasien-pasien merasa antrian di klinik swasta jauh lebih sedikit dibanding jika mereka berobat ke Puskesmas. Padahal, di kebanyakan klinik swasta, paling tidak saya bisa memastikan di daerah di mana saya pernah bekerja beberapa bulan sebagai dokter di klinik swasta, tidak memiliki kapasitas untuk melakukan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis TB. Pasien akhirnya akan diminta untuk memeriksakan dirinya ke pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas BTA ataupun Tes Cepat Molekuler (TCM), dan lagi, tak menutup kemungkinan menambah pasien-pasien tuberkulosis yang menghilang.
Memperhatikan kapasitas diagnostik dari masing-masing jenis pelayanan kesehatan yang tak merata kemudian menjadi kunci utama, seperti pemenuhan alat-alat kesehatan hingga obat-obatan yang seyogyanya diwajibkan tersedia di fasilitas kesehatan tingkat pertama.Â
Tidak boleh lagi ada Puskesmas yang tak memiliki fasilitas BTA, apalagi mikroskop yang hanya jadi pajangan. Menempatkan diri sebagai pasien, membayangkan jika kita yang harus dilempar kesana kemari untuk mendapatkan diagnosis atas penyakit yang kita derita tentu saja tak enak rasanya.Â
Setiap orang tanpa kecuali berhak atas diagnosis yang tepat dan cepat agar tak mengalami keterlambatan dalam diagnosis serta agar segera mendapat tatalaksana atau pengobatan yang sesuai dengan penyakitnya, mengingat menurut penelitian oleh Virenfeldt et al., pada tahun 2014 bahwa keterlambatan dalam pengobatan TB dikaitkan dengan presentasi klinis TB yang lebih parah.Â
Sebagaimana beberapa hari yang lalu saat saya mengikuti sebuah forum layanan kesehatan primer atau Primary Health Care (PHC) Forum yang diselenggarakan oleh Center for Indonesia Strategic Development Initiatives atau CISDI di Jakarta. Pada salah satu forum besarnya, disebutkan bahwa perlu waktu rata-rata 62 hari oleh pasien dari awal tanda dan gejala muncul hingga ia terdiagnosis sebagai TB.
Enam puluh dua hari tentu saja bukan waktu yang sebentar. Total waktu selama dua bulan tersebut yang disumbang oleh keterlambatan pasien menuju pelayanan kesehatan (patient delay), keterlambatan sistem kesehatan (diagnostic and treatment delay), sekali lagi patut menjadi perhatian dan pekerjaan rumah bersama.Â
Pertama, untuk menghindarkan keterlambatan pasien, pasien wajib dipastikan memahami tanda dan gejala TB melalui berbagai bentuk edukasi/promosi kesehatan yang mencapai seluruh masyarakat sehingga tak ada lagi masyarakat yang tak mengenali TB.Â
Selain itu, menjamin akses geografis dan ekonomi menuju pelayanan kesehatan melalui penyediaan pelayanan kesehatan yang merata di berbagai wilayah dan memastikan setiap individu terlindungi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Tidak akan ada artinya bila pasien mengenali TB, tapi Puskesmas berjarak jauh sekali dari rumahnya, atau tak memiliki Jaminan Kesehatan Nasional yang kemudian menghambat keputusannya.
Kedua, sebagaimana yang telah disebutkan di atas, pemerintah wajib memastikan bahwa tak boleh lagi ada keterlambatan sistem kesehatan dalam menemukan hingga mengobati kasus-kasus TB. Tentu kita tidak menginginkan lebih banyak lagi pasien tuberkulosis yang menghilang hanya karena kelemahan sistem kesehatan yang harusnya dapat sama-sama kita tanggulangi.Â
Penyediaan alat kesehatan, peningkatan kompetensi sumber daya manusia kesehatan, penguatan rujukan, serta penguatan kerja sama antara pelayanan kesehatan publik dan swasta agar seluruh program dapat selaras berjalan, seluruhnya wajib dikomunikasikan dan dikolaborasikan, untuk memastikan tak ada satupun yang tertinggal dalam upaya pengentasan penyakit target eliminasi di tahun 2030.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H