Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mikroskop Deteksi Tuberkulosis yang Hanya Menjadi Pajangan

18 November 2023   12:47 Diperbarui: 19 November 2023   06:45 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hasil rontgen salah seorang warga dalam kegiatan Active Case Finding TBC di Kantor Kecamatan Larangan, Kota Tangerang, Banten, Kamis (5/1/2023). Foto: KOMPAS/PRIYOMBODO

Setiap orang tanpa kecuali berhak atas diagnosis yang tepat dan cepat agar tak mengalami keterlambatan dalam diagnosis serta agar segera mendapat tatalaksana atau pengobatan yang sesuai dengan penyakitnya, mengingat menurut penelitian oleh Virenfeldt et al., pada tahun 2014 bahwa keterlambatan dalam pengobatan TB dikaitkan dengan presentasi klinis TB yang lebih parah. 

Sebagaimana beberapa hari yang lalu saat saya mengikuti sebuah forum layanan kesehatan primer atau Primary Health Care (PHC) Forum yang diselenggarakan oleh Center for Indonesia Strategic Development Initiatives atau CISDI di Jakarta. Pada salah satu forum besarnya, disebutkan bahwa perlu waktu rata-rata 62 hari oleh pasien dari awal tanda dan gejala muncul hingga ia terdiagnosis sebagai TB.

Enam puluh dua hari tentu saja bukan waktu yang sebentar. Total waktu selama dua bulan tersebut yang disumbang oleh keterlambatan pasien menuju pelayanan kesehatan (patient delay), keterlambatan sistem kesehatan (diagnostic and treatment delay), sekali lagi patut menjadi perhatian dan pekerjaan rumah bersama. 

Pertama, untuk menghindarkan keterlambatan pasien, pasien wajib dipastikan memahami tanda dan gejala TB melalui berbagai bentuk edukasi/promosi kesehatan yang mencapai seluruh masyarakat sehingga tak ada lagi masyarakat yang tak mengenali TB. 

Selain itu, menjamin akses geografis dan ekonomi menuju pelayanan kesehatan melalui penyediaan pelayanan kesehatan yang merata di berbagai wilayah dan memastikan setiap individu terlindungi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Tidak akan ada artinya bila pasien mengenali TB, tapi Puskesmas berjarak jauh sekali dari rumahnya, atau tak memiliki Jaminan Kesehatan Nasional yang kemudian menghambat keputusannya.

Kedua, sebagaimana yang telah disebutkan di atas, pemerintah wajib memastikan bahwa tak boleh lagi ada keterlambatan sistem kesehatan dalam menemukan hingga mengobati kasus-kasus TB. Tentu kita tidak menginginkan lebih banyak lagi pasien tuberkulosis yang menghilang hanya karena kelemahan sistem kesehatan yang harusnya dapat sama-sama kita tanggulangi. 

Penyediaan alat kesehatan, peningkatan kompetensi sumber daya manusia kesehatan, penguatan rujukan, serta penguatan kerja sama antara pelayanan kesehatan publik dan swasta agar seluruh program dapat selaras berjalan, seluruhnya wajib dikomunikasikan dan dikolaborasikan, untuk memastikan tak ada satupun yang tertinggal dalam upaya pengentasan penyakit target eliminasi di tahun 2030.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun