Orang tua menjadi cenderung sibuk di luar rumah, memberi pengasuhan yang begitu minim, hingga tak jarang tak sempat mengawasi pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya. Para orang tua yang sibuk bekerja ini pun kemudian memiliki keterbatasan waktu untuk mempersiapkan makanan yang sehat dan bergizi untuk anak-anak mereka.Â
Akibatnya, para orang tua lebih mungkin mengandalkan makanan cepat saji atau makanan instan yang kurang mengandung nutrisi penting. Pola makan yang tidak tepat ini lalu dapat menyebabkan anak-anak kekurangan nutrisi dan berisiko stunting. Â
Orang tua yang sibuk bekerja pun pada akhirnya melewatkan pertemuan-pertemuan orang tua di Posyandu yang dilaksanakan pada jam kerja. Melewatkan kesempatan untuk memantau pertumbuhan anak dan melewatkan edukasi-edukasi kesehatan terkait tumbuh kembang anak.Â
Jika kita asumsikan pada keadaan dimana negara telah dapat menjamin masyarakat mendapat gaji/upah minimum sesuai regulasi yang dipersyaratkan, atau keadaan dimana para orang tua telah memperoleh gaji yang mumpuni, ataupun kemudian orang tua tidak perlu lagi untuk sibuk bekerja yang awalnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang harganya semakin hari semakin tak tertahankan, masih banyak kiranya faktor-faktor lain yang harus diperhatikan oleh seluruh pihak untuk mewujudkan Indonesia tanpa stunting.Â
Faktor-faktor seperti pertama ialah kebiasaan merokok di dalam rumah yang dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA serta diare yang sering menyebabkan rendahnya penyerapan gizi anak.Â
Kedua, kondisi rendahnya cakupan imunisasi yang merupakan implikasi dari beberapa kondisi menyedihkan seperti terdapatnya resistensi dari beberapa kelompok maupun individu terhadap program imunisasi yang diberikan pemerintah, ataupun penyediaan layanan imunisasi yang tak merata ke seluruh wilayah, membuat anak menjadi rentan terhadap penyakit-penyakit yang seharusnya dapat dicegah dengan imunisasi.
Ketiga, kondisi lingkungan yang semakin hari semakin memprihatinkan, seperti misalnya limbah-limbah buangan perusahaan yang tak dikelola dengan baik, yang lalu mencemari pemukiman dan berpengaruh terhadap kualitas air (termasuk kualitas udara) masyarakat, padahal air tersebut akan digunakan untuk membuat olahan minuman atau makanan untuk anak-anak, berujung pada tingginya angka kesakitan infeksi seperti diare, membuat anak tak nafsu makan dan rendahnya penyerapan nutrisi.
Keempat, stigma yang dibangun masyarakat serta tenaga kesehatan mengenai hal-hal yang membuat seorang anak menjadi stunting, membuat Posyandu lalu menjadi tempat yang menyeramkan bagi para orang tua, menahan mereka dari rutin melakukan monitoring terhadap pertumbuhan anaknya merupakan faktor lainnya yang berkontribusi terhadap penurunan stunting di Indonesia.Â
Kelima, perbedaan kemampuan atau kapasitas para tenaga kesehatan serta kader di lapangan yang melakukan pengukuran antropometri dan melakukan rujukan ke fasilitas kesehatan tingkat lanjutan pun menjadi faktor selanjutnya yang wajib menjadi perhatian bersama.Â
Keenam, jika pun para tenaga kesehatan atau kader telah memiliki kapasitas yang mencukupi dalam melakukan deteksi dini stunting dan mengetahui kapan untuk merujuk, faktor seperti geografis dapat menjadi kendala selanjutnya dalam penurunan stunting.Â
Kendala geografis seperti topografi wilayah serta jarak dari rumah para orang tua ke fasilitas kesehatan tingkat primer seperti Posyandu dan Puskesmas maupun ke fasilitas kesehatan tingkat lanjutan seperti Rumah Sakit.