Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Stunting, Sebuah Tanda Lemahnya Sistem Kebijakan

25 Juli 2023   20:22 Diperbarui: 28 Juli 2023   19:59 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pendampingan yang diberikan Tanoto Foundation dalam upaya mencegah stunting.(DOK. Humas Tanoto Foundation) 

Stunting ialah suatu kondisi yang terjadi ketika anak mengalami pertumbuhan tubuh yang terhambat sehingga tinggi badan anak lebih pendek dari tinggi badan seharusnya yang sesuai dengan usia mereka. 

Stunting merupakan isu nasional yang sangat penting dan serius di banyak negara, termasuk Indonesia. Isu ini menjadi perhatian yang penting karena berdampak pada perkembangan dan kualitas hidup anak-anak serta berpotensi mempengaruhi produktivitas dan kemajuan suatu negara di masa depan. 

Stunting dapat menyebabkan masalah kesehatan jangka panjang, termasuk gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan otak, rendahnya daya tahan tubuh, serta masalah kesehatan seperti penyakit-penyakit kronis yang dapat muncul di masa dewasa. 

Selain itu, anak-anak yang mengalami stunting mungkin mengalami masalah dalam konsentrasi, masalah dalam memahami pelajaran, dan masalah dalam belajar secara efektif, yang dapat mempengaruhi pencapaian pendidikan mereka dan membatasi peluang kerja di masa depan, yang juga berimplikasi pada rendahnya produktivitas tenaga kerja di masa dewasa. 

Stunting pun memerlukan pembiayaan kesehatan yang berjangka panjang dengan biaya yang tinggi, baik bagi keluarga maupun sistem kesehatan nasional. (Baca: Stunting yang Mengancam Pembiayaan Kesehatan)

Untuk mengatasi stunting yang angkanya cenderung stagnan nan tiada perbaikan dari tahun ke tahun, pemerintah telah secara intensif sejak tahun 2018 mengucurkan banyak dana dan mengeluarkan berbagai kebijakan terkait percepatan penurunan stunting. 

Sayangnya, menurut penulis secara pribadi, kebijakan-kebijakan tersebut terkesan direalisasikan setengah-setengah melihat betapa rendahnya sinergi antara satu kebijakan dengan kebijakan yang lain. Masing-masing sektor cenderung bekerja masing-masing tanpa mempertimbangkan apakah kebijakan yang diluncurkan mampu mencapai tujuan bersama yang menjadi isu prioritas negara yakni mengentaskan stunting. 

Sebagai contoh, selama ini para orang tua disosialisasikan untuk membeli berbagai sumber protein hewani sebagai instrumen gizi yang dibutuhkan guna mencegah stunting. Ironisnya, di saat yang sama, sumber protein seperti daging sapi atau ayam memiliki harga yang semakin hari semakin sulit untuk dijangkau. 

Ditambah, di saat para orang tua telah bekerja keras dari pagi hingga petang, para orang tua masih saja mendapat gaji yang jauh dibawah upah minimum regional atau UMR. Berujung kepada kondisi lemahnya daya beli masyarakat terhadap sumber-sumber protein hewani tersebut. Pada akhirnya, gizi anak pun kerap kali tak tercukupi. 

Tak cukup hanya sampai disitu, gaji di bawah UMR ini pun akhirnya menuntut beberapa individu memutuskan untuk mencari penghidupan kedua atau pekerjaan tambahan untuk menambah pundi-pundi keluarga. 

Orang tua menjadi cenderung sibuk di luar rumah, memberi pengasuhan yang begitu minim, hingga tak jarang tak sempat mengawasi pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya. Para orang tua yang sibuk bekerja ini pun kemudian memiliki keterbatasan waktu untuk mempersiapkan makanan yang sehat dan bergizi untuk anak-anak mereka. 

Akibatnya, para orang tua lebih mungkin mengandalkan makanan cepat saji atau makanan instan yang kurang mengandung nutrisi penting. Pola makan yang tidak tepat ini lalu dapat menyebabkan anak-anak kekurangan nutrisi dan berisiko stunting.  

Orang tua yang sibuk bekerja pun pada akhirnya melewatkan pertemuan-pertemuan orang tua di Posyandu yang dilaksanakan pada jam kerja. Melewatkan kesempatan untuk memantau pertumbuhan anak dan melewatkan edukasi-edukasi kesehatan terkait tumbuh kembang anak. 

Jika kita asumsikan pada keadaan dimana negara telah dapat menjamin masyarakat mendapat gaji/upah minimum sesuai regulasi yang dipersyaratkan, atau keadaan dimana para orang tua telah memperoleh gaji yang mumpuni, ataupun kemudian orang tua tidak perlu lagi untuk sibuk bekerja yang awalnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang harganya semakin hari semakin tak tertahankan, masih banyak kiranya faktor-faktor lain yang harus diperhatikan oleh seluruh pihak untuk mewujudkan Indonesia tanpa stunting. 

Faktor-faktor seperti pertama ialah kebiasaan merokok di dalam rumah yang dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA serta diare yang sering menyebabkan rendahnya penyerapan gizi anak. 

Kedua, kondisi rendahnya cakupan imunisasi yang merupakan implikasi dari beberapa kondisi menyedihkan seperti terdapatnya resistensi dari beberapa kelompok maupun individu terhadap program imunisasi yang diberikan pemerintah, ataupun penyediaan layanan imunisasi yang tak merata ke seluruh wilayah, membuat anak menjadi rentan terhadap penyakit-penyakit yang seharusnya dapat dicegah dengan imunisasi.

Ketiga, kondisi lingkungan yang semakin hari semakin memprihatinkan, seperti misalnya limbah-limbah buangan perusahaan yang tak dikelola dengan baik, yang lalu mencemari pemukiman dan berpengaruh terhadap kualitas air (termasuk kualitas udara) masyarakat, padahal air tersebut akan digunakan untuk membuat olahan minuman atau makanan untuk anak-anak, berujung pada tingginya angka kesakitan infeksi seperti diare, membuat anak tak nafsu makan dan rendahnya penyerapan nutrisi.

Keempat, stigma yang dibangun masyarakat serta tenaga kesehatan mengenai hal-hal yang membuat seorang anak menjadi stunting, membuat Posyandu lalu menjadi tempat yang menyeramkan bagi para orang tua, menahan mereka dari rutin melakukan monitoring terhadap pertumbuhan anaknya merupakan faktor lainnya yang berkontribusi terhadap penurunan stunting di Indonesia. 

Kelima, perbedaan kemampuan atau kapasitas para tenaga kesehatan serta kader di lapangan yang melakukan pengukuran antropometri dan melakukan rujukan ke fasilitas kesehatan tingkat lanjutan pun menjadi faktor selanjutnya yang wajib menjadi perhatian bersama. 

Keenam, jika pun para tenaga kesehatan atau kader telah memiliki kapasitas yang mencukupi dalam melakukan deteksi dini stunting dan mengetahui kapan untuk merujuk, faktor seperti geografis dapat menjadi kendala selanjutnya dalam penurunan stunting. 

Kendala geografis seperti topografi wilayah serta jarak dari rumah para orang tua ke fasilitas kesehatan tingkat primer seperti Posyandu dan Puskesmas maupun ke fasilitas kesehatan tingkat lanjutan seperti Rumah Sakit.

Sekali lagi, stunting adalah sebuah kondisi yang multifaktorial yang berarti kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor yang berperan bersama dalam mempengaruhi pertumbuhan anak. Stunting tidak boleh dianggap sebagai akibat dari suatu faktor yang tunggal. 

Upaya untuk memenuhi hak anak dalam memperoleh pertumbuhan yang optimal adalah layaknya orkestra dari sebuah sistem. Dengan demikian, stunting ialah tanda dari lemahnya sistem secara keseluruhan. Jika pemerintah hanya fokus untuk membenahi satu aspek dan mengabaikan aspek lainnya, pengentasan stunting tentu akan berujung menjadi wacana belaka selamanya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun