Di dunia kedokteran dan farmasi, untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh bakteri digunakan obat-obatan antibiotik. Ia bekerja dengan menghambat pertumbuhan ataupun perkembangbiakan bakteri, serta membunuh sel bakteri. Sepintas, nampak begitu mudah mengatasi penyakit-penyakit infeksi oleh karena bakteri, yakni dengan antibiotik.
Sebagaimana antibiotik telah menyelamatkan jutaan nyawa sejak pertama kali ia diperkenalkan pada tahun 1940, kehebatan yang ditunjukan oleh antibiotik sedari dahulu hingga saat ini kiranya berimbang dengan betapa banyaknya masyarakat dan termasuk di dalamnya yaitu tenaga kesehatan yang terperdaya dan terperangkap dalam persepsi yang salah bahwa antibiotik adalah obat dewa.Â
Salah satu contohnya ialah tak jarang kita mendengar masyarakat yang mengeluhkan pegal-pegal seluruh badan berinisiatif untuk membeli obat pereda nyeri beserta pasangan sejatinya yang tidak lain dan tidak bukan yakni antibiotik, yang tentu saja tanpa resep.
Saat antibiotik tidak perlu digunakan, pasien tentu saja tidak akan mendapatkan manfaat dari obat tersebut. Alih-alih justru hanya mendapat efek samping. Antibiotik yang digunakan tanpa indikasi hanya berakibat mengganggu komposisi agen infeksi, menyebabkan bakteri untuk beradaptasi dan bermutasi yang kemudian menjadi strain baru yang resisten terhadap rejimen antibiotik saat ini.Â
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat pada satu pasien dapat mengembangkan strain resisten yang menyebar ke pasien lain yang tidak menggunakan antibiotik, dan pada akhirnya masalah yang disebut sebagai resistensi antibiotik ini menjadi sebuah masalah kesehatan masyarakat.Â
Dalam hal ini, pemberian antibiotik tanpa indikasi dan pula berarti tanpa resep oleh dokter merupakan salah satu penyumbang resistensi antibiotik yang seharusnya kita perangi demi tak jatuh dalam jurang bakteri-bakteri yang tertawa bahwa ia sudah tak ada lawannya.
Kasus di masyarakat yang telah lumrah melakukan pembelian antibiotik di apotek ataupun toko obat berizin secara bebas ini tentu saja merupakan cerminan sekaligus tamparan kepada kita mengenai betapa lemahnya sistem pengawasan penjualan antibiotik oleh apotek dan toko obat di Indonesia. Ketegasan dari BPOM atau Badan Pengawas Obat dan Makanan yang merupakan pihak yang bertanggung jawab terhadap pengawasan ini tentu saja patut dipertanyakan.Â
Begitu disayangkan dengan sudah terdapatnya kebijakan yang mendukung pencegahan terkait resistensi terhadap antibiotik harus bersanding dengan pelaksanaan di lapangan yang tidak menghormati eksistensi dari regulasi kebijakan tersebut, yang mana salah satunya diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI) Nomor 28 Tahun 2021Â mengenai Pedoman Penggunaan Antibiotik.Â
Disusun sebagai sebuah pedoman penggunaan antibiotik bagi praktik mandiri dokter atau dokter gigi, pusat kesehatan masyarakat, klinik, dan rumah sakit serta merupakan pedoman bagi apoteker dalam memberikan pelayanan kefarmasian berdasarkan resep dokter atau dokter gigi.
Kompleksitas masalah resistensi antibiotik yang disumbang oleh penjualan antibiotik secara bebas memerlukan kerja sama banyak pihak. Tak hanya BPOM, Dinas Kesehatan Kab/Kota, apoteker, atau dokter, namun juga masyarakat awam. Masyarakat harus cerdas dan dicerdaskan untuk membeli antibiotik atas resep dokter sehingga mendapat antibiotik jika memang diperlukan dan jika memang mendapat antibiotik, akan mendapat antibiotik yang sesuai dengan diagnosis penyakitnya.Â