Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Bermain Survival Game di Puskesmas

8 Oktober 2022   20:47 Diperbarui: 10 Oktober 2022   20:00 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puskesmas yang diharapkan menjadi garda terdepan pelayanan kesehatan malah sering terkendala terkait stok obat esensial yang kosong. Foto: Kompas.com/Dani Julius

Sangat disayangkan bahwa Puskesmas di Indonesia yang selama ini diharapkan hingga dipacu oleh pemerintah agar menjadi garda terdepan pelayanan kesehatan harus dipusingkan dengan betapa seringnya ketersediaan obat-obat esensial di level Puskesmas yang kosong. 

Obat-obat esensial bukanlah obat-obat yang digolongkan sebagai obat penunjang, tetapi ialah obat-obat terpilih yang paling dibutuhkan dan paling diupayakan tersedia di unit pelayanan kesehatan sesuai fungsi atau tingkatnya, atau yang termasuk dalam daftar obat esensial nasional dan disingkat sebagai DOEN. Tak tersedianya obat-obat esensial ini membuat para tenaga kesehatan terjerumus dalam sebuah survival game. 

Rasanya sangat melelahkan melihat teori yang tenaga kesehatan pelajari sebelumnya di bangku kuliah tak bersesuaian dengan realita di lapangan. Di dunia kedokteran dikenal sebuah istilah yang disebut dengan drug of choice. 

Ia merupakan sebuah istilah untuk terapi yang dianggap sebagai agen terbaik atau agen pertama yang digunakan saat merawat kondisi tertentu. Lalu, bagaimana jika drug of choice atau yang disingkat sebagai DoC ini tak tersedia di lapangan? 

Realita yang ada sekarang ini ialah jawaban untuk pertanyaan tersebut. Realita ini merefleksikan betapa implementasi pengelolaan obat di Puskesmas di Indonesia ialah sangat jauh dari kata ideal. Paling tidak untuk Puskesmas-puskesmas pada daerah pedesaan, karena Puskesmas saya bekerja tergolong sebagai Puskesmas daerah pedesaan. Ironi, sudah 77 tahun Indonesia merdeka, sebatas penyediaan obat di Puskesmas saja masih menjadi pekerjaan rumah yang begitu besar. 

Obat esensial yang sering kosong pada akhirnya berdampak pada kepercayaan masyarakat yang menjadi rendah kepada Puskesmas yang kemudian tak menutup kemungkinan mengurungkan niat masyarakat untuk melakukan kunjungan ke Puskesmas pada pertemuan berikutnya. 

Tak usah cepat berbangga jika Puskesmas tak ramai akan pengunjung, karena bukan berarti seluruh masyarakat dalam kondisi yang sehat. Bisa saja masyarakat sakit, namun enggan ke Puskesmas, karena sudah tahu obat yang kemungkinan akan diresepkan untuk masyarakat adalah tak tersedia. 

Dampak selanjutnya dari kosongnya obat esensial ini ialah tingkat kepatuhan berobat pasien yang menjadi rendah. Saya ambil contoh kasus-kasus infeksi pada telinga. Dimana seharusnya sediaan obat yang paling tepat ialah salep atau tetes telinga sehingga benar-benar mencapai target organ yang mengalami keluhan. 

Sayangnya, sering kali obat tetes telinga tak tersedia. Ujung-ujungnya dokter terpaksa meresepkan obat minum yang durasi terapinya tentu saja lebih lama dibanding jika meresepkan obat dengan sediaan yang merupakan sediaan pilihan dan  yang merupakan obat pilihan alias drug of choice. Tak jarang pada akhirnya pasien putus berobat di tengah jalan, karena tak sabar menunggu perbaikan kondisi yang tak kunjung datang. 

Tak tersedianya obat esensial di level Puskesmas seharusnya dapat menjadi sebuah alasan rasional seorang dokter merujuk penyakit dengan level kompetensi 4A atau penyakit-penyakit yang harusnya diselesaikan di tingkat Puskesmas atau fasilitas kesehatan tingkat pertama kepada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan atau kepada rumah sakit. 

Namun, tingginya angka rujukan yang terus dipantau oleh badan penyelenggara jaminan sosial atau BPJS yang berdampak pada pengurangan kapitasi si Puskesmas pada periode selanjutnya, sering kali mengurungkan niat para dokter untuk merujuk penyakit tersebut dan memutar otak untuk memikirkan pilihan-pilihan terapi lain alias menggunakan bahan yang tersisa dan berharap tetap dapat memberikan efikasi kepada pasien. 

Entah apa yang terjadi dengan penyediaan obat-obat esensial yang sering kali kosong di Puskesmas. Apakah pelaporan dari apoteker Puskesmas yang tidak rutin kepada Dinas Kesehatan Kabupaten? 

Apakah sudah dilaporkan dengan baik tetapi Dinas Kesehatan Kabupaten tak dapat memenuhi permintaan obat-obat esensial? Apakah sistem informasi pengelolaan obat di Puskesmas selama ini sudah teroperasi dengan baik? 

Apakah proses distribusi obat ke Puskesmas daerah pedesaan dengan geografis yang sulit merupakan salah satu faktor di dalamnya? Apakah sudah terjadi transparansi selama ini terkait pendanaan untuk penyediaan obat maupun bahan medis habis pakai di Puskesmas oleh berbagai pihak? 

Persediaan obat pada fasilitas kesehatan tingkat pertama yang berkelanjutan sudah seharusnya menjadi perhatian pemerintah terlebih di bawah rencana transformasi kesehatan, yang mana transformasi layanan primer merupakan salah satu pilar di dalamnya. 

Perlu diingat, bahwa Jaminan Kesehatan Nasional tak hanya mencakup terjaminnya pelayanan kesehatan namun juga terjaminnya persediaan obat yang merata untuk seluruh masyarakat Indonesia.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun