Namun, tingginya angka rujukan yang terus dipantau oleh badan penyelenggara jaminan sosial atau BPJS yang berdampak pada pengurangan kapitasi si Puskesmas pada periode selanjutnya, sering kali mengurungkan niat para dokter untuk merujuk penyakit tersebut dan memutar otak untuk memikirkan pilihan-pilihan terapi lain alias menggunakan bahan yang tersisa dan berharap tetap dapat memberikan efikasi kepada pasien.Â
Entah apa yang terjadi dengan penyediaan obat-obat esensial yang sering kali kosong di Puskesmas. Apakah pelaporan dari apoteker Puskesmas yang tidak rutin kepada Dinas Kesehatan Kabupaten?Â
Apakah sudah dilaporkan dengan baik tetapi Dinas Kesehatan Kabupaten tak dapat memenuhi permintaan obat-obat esensial? Apakah sistem informasi pengelolaan obat di Puskesmas selama ini sudah teroperasi dengan baik?Â
Apakah proses distribusi obat ke Puskesmas daerah pedesaan dengan geografis yang sulit merupakan salah satu faktor di dalamnya? Apakah sudah terjadi transparansi selama ini terkait pendanaan untuk penyediaan obat maupun bahan medis habis pakai di Puskesmas oleh berbagai pihak?Â
Persediaan obat pada fasilitas kesehatan tingkat pertama yang berkelanjutan sudah seharusnya menjadi perhatian pemerintah terlebih di bawah rencana transformasi kesehatan, yang mana transformasi layanan primer merupakan salah satu pilar di dalamnya.Â
Perlu diingat, bahwa Jaminan Kesehatan Nasional tak hanya mencakup terjaminnya pelayanan kesehatan namun juga terjaminnya persediaan obat yang merata untuk seluruh masyarakat Indonesia. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H