Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Membongkar Celah Permenkes Puskesmas Versus Realita

20 Agustus 2022   20:25 Diperbarui: 22 Agustus 2022   01:15 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk melihat bagaimana kemajuan pelaksanaan suatu pembangunan di suatu negara, kiranya menarik jika kita menguraikan celah antara produk hukum (UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dsb) yang disusun dengan sejauh apa kenyataan praktik di lapangan. 

Dalam hal ini saya akan membahas mengenai Peraturan Menteri Kesehatan dan isu pelaksanaan pembangunan Puskesmas di seluruh Indonesia. 

Menguraikan Celah antara Permenkes terkait Puskesmas dan Realita (Bagian Pertama)

1. Menurut Kementerian Kesehatan RI pada Januari 2022 lalu, hingga kini terdapat sejumlah 141 Kecamatan yang tak memiliki Puskesmas. Padahal jika bercermin pada Permenkes Nomor 43 Tahun 2019, disebutkan pada pasal 10, bahwa Puskesmas harus didirikan di setiap kecamatan. 

Hal ini kemudian memperlihatkan celah pertama antara UU mengenai Puskesmas dan praktiknya di lapangan. 

Pemerintah harus memahami betapa besarnya urgensi terhadap akselerasi pembangunan infrastruktur terkait pelayanan kesehatan tingkat primer yang dielu-elukan sebagai layanan garda terdepan dan kunci dari keseluruhan transformasi kesehatan.

Itu tercermin dari transformasi layanan primer yang diletakkan sebagai pilar pertama sebelum pilar-pilar lainnya dan berulang kali disebutkan Menteri Kesehatan RI, Ir. Budi Gunadi Sadikin, CHFC, dalam setiap konferensi pers terkait rencana dan eksekusi transformasi kesehatan Indonesia yang ditargetkan hingga tahun 2024. 

Pemerintah harus menyadari bahwa majunya suatu bangsa ditopang oleh majunya sumber daya manusianya. Majunya sumber daya manusia tercermin dari indeks pembangunan manusia atau IPM yang terdiri atas indikator pendidikan dan kesehatan. 

Sudah tidak ada waktu lagi untuk pemerintah menunda-nunda investasi pada penyumbang indeks pembangunan manusia satu ini. 

Kecamatan-kecamatan tanpa Puskesmas tentu saja tak hanya memerlukan sebuah Puskesmas saja. Satu hal tersebut tidak cukup untuk kemudian menanggalkan kewajiban pemerintah dalam rangka menutup celah antara Permenkes terkait Puskesmas dengan realita. 

Berdirinya sebuah Puskesmas tentu memerlukan SDM kesehatan dan non-kesehatan sebagai penggeraknya, memerlukan perencanaan terkait obat lalu bahan medis habis pakai dan lain sebagainya. 

Dengan kata lain, penyediaan yang mumpuni oleh pemerintah lewat perencanaan yang efektif dan efisien untuk mendukung sebuah sistem Puskesmas agar dapat berjalan baik, alih-alih hanya sekedar mendirikannya saja. 

2. Rasio Puskesmas dengan cakupan penduduk yang masih belum ideal adalah isu selanjutnya. Terdapat celah antara Permenkes terkait Puskesmas dan pelaksanaannya yang kita temui di lapangan. 

WHO mensyaratkan bahwa 1 Puskesmas berbanding 16,000 penduduk adalah rasio yang ideal, namun berdasar data Riskesdas tahun 2013 lalu menunjukkan bahwa rata-rata 1 Puskesmas di Indonesia melayani 26,000 penduduk yang tentu saja melebihi jumlah idealnya. 

Jika mengacu masih pada Permenkes dan pasal yang sama dengan poin celah pertama, namun pada ayat berbeda, yakni pada ayat 2, dikatakan bahwa tak menutup kemungkinan alias dalam kondisi tertentu bisa saja satu kecamatan memiliki lebih dari satu Puskesmas. Hal tersebut dipertimbangkan oleh karena dasar jumlah penduduk dan aksesibilitas pelayanan.

Dalam hal ini, pemerintah harus kembali melakukan kajian ulang terhadap data terkini terkait data kependudukan dan membandingkannya dengan jumlah Puskesmas yang ada. Apakah sudah sesuai dengan rasio ideal yang dipersyaratkan. 

Pengabaian terhadap isu ini pada akhirnya akan berdampak pada kualitas pelayanan yang diberikan sebuah Puskesmas pada penduduk di sekitarnya. 

Jika jumlah penduduk melebihi jumlah ideal penduduk dalam satu wilayah cakupan Puskesmas yang dipersyaratkan tentu saja akan terjadi sebuah overload yang membuat pelayanan menjadi tak maksimal karena begitu banyak kepala yang harus dilayani.

Sebuah Puskesmas dengan 16,000 penduduk dan Puskesmas dengan 26,000 penduduk tentu saja akan menghasilkan luaran kualitas pelayanan yang berbeda.

Karena si Puskesmas dengan 26,000 harus terburu-buru dan tergesa-gesa menyelesaikan pelayanan pada durasi waktu yang telah disepakati bersama. 

Selain itu, pemetaan Puskesmas menyesuaikan dengan keadaan geografis suatu wilayah adalah begitu penting untuk memastikan bahwa pelayanan adalah aksesibel untuk semua orang tanpa kecuali. 

Pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan terkait pembangunan Puskesmas yang berbasis data dalam hal ini ialah data pemetaan Puskesmas.

Segera akan berlanjut di Bagian Kedua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun