Dasar Hukum Promotif Preventif
Undang-undang (UU) dan regulasi kesehatan hampir selalu menekankan pentingnya promotif preventif.
Sebagai contoh yakni dalam UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, UU Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, maupun UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Disebutkan bahwa usaha promotif preventif harus dilakukan secara terencana.Â
Kuratif > Promotif dan Preventif
Puskesmas disebut sebagai garda terdepan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Disebut juga sebagai pemegang tahta untuk pelaksanaan kegiatan kesehatan yang bersifat promotif dan preventif. Melalui hadirnya Puskesmas, diharapkan masyarakat memahami konsep kesehatan dan cara pencegahan penyakit.
Namun pada hari ini, dengan banyaknya pasien yang berobat pada poli rawat jalan hingga harus dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat sekunder dan jumlahnya melebihi jumlah masyarakat yang bersedia hadir pada acara-acara posbindu lansia untuk mendengarkan penyuluhan kesehatan dan skrining kondisi kesehatan, menunjukkan bahwa Puskesmas semakin hari semakin kehilangan mahkota promotif preventifnya dan tersilaukan oleh aspek kuratif (mengobati).
Entah strategi pelaksanaan promotif preventif di Puskesmas yang memang belum optimal ataukah memang sebuah budaya dan kepercayaan yang telah mengakar di masyarakat bahwa Puskesmas hanyalah untuk orang sakit, sehingga baru saat mereka jatuh dalam kondisi sakit lalu mengandalkan Puskesmas, dan sayangnya dengan kondisi penyakit yang sudah parah akhirnya tak dapat ditangani di level Puskesmas. Mau tidak mau diperlukan rujukan ke pelayanan kesehatan tingkat sekunder yakni rumah sakit (RS).
Puskesmas atau Puskitmas?
Kita tentu tidak menghendaki Puskesmas atau Pusat Kesehatan Masyarakat berubah menjadi Pusat Kesakitan Masyarakat alias Puskitmas. Seolah-olah selamanya Puskesmas hanya berperan sebagai tempat transit pasien-pasien sebelum dirujuk ke RS atau sebagai RS mini.
Padahal, sesuai namanya, Puskesmas seyogianya menjadi tempat dimana masyarakat sehat tetap menjadi sehat dan mereka yang teridentifikasi memiliki faktor risiko tertentu dapat menyadari faktor-faktor risiko tersebut dan kemudian mempelajari cara-cara dalam mengendalikannya.Â
Edukasi
Edukasi kepada masyarakat merupakan salah satu kunci dalam kesuksesan kegiatan promotif preventif. Memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati.
Edukasi dapat diberikan dalam bentuk lisan, tulisan di media cetak maupun elektronik, dan lain sebagainya. Edukasi harus dimulai dari unit terkecil masyarakat yakni keluarga, lalu di tingkat RT, RW, hingga kecamatan.
Diperlukan kerja sama berbagai pihak untuk memastikan tersampaikannya edukasi di berbagai unit yang ada di masyarakat. Edukasi terkait pentingnya promotif preventif tidaklah terbatas hanya sebagai tugas Puskesmas. Diperlukan kolaborasi lintas sektor dengan berbagai institusi di luar Puskesmas. Menyadari bahwa tugas penjagaan kesehatan masyarakat tidak hanya tugas Puskesmas, tapi juga kantor desa/kelurahan, kantor kecamatan, karang taruna, dan berbagai perkumpulan lainnya.Â
Puskesmas harus memastikan bahwa semua masyarakat telah mendapat edukasi terkait promotif preventif yang seharusnya setiap orang di wilayah tersebut dapatkan. Mengingat dalam pelaksanaan, sebagai contoh, banyak masyarakat yang enggan mengikuti posyandu/posbindu dengan berbagai alasan salah satunya ialah kesibukan
 Sehingga, pengintegrasian posyandu/posbindu ke dalam setiap kegiatan masyarakat juga diperlukan, selain peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya usaha pencegahan dan oleh karena itulah betapa pentingnya masyarakat untuk mengikuti skrining kesehatan yang dilakukan oleh posyandu/posbindu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H