Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Malingering, Potret Implikasi Bullying dan Demanding Parenting

6 Agustus 2022   20:47 Diperbarui: 7 Agustus 2022   08:55 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang anak perempuan berusia 9 tahun digendong sang ibu menuju Instalasi Gawat Darurat (IGD) Puskesmas kami. 

Kami menanyakan apa keluhan sang anak hingga dibawa kemari. Sang anak menjawab mengatakan seluruh badannya sakit termasuk kakinya hingga ia tak bisa berjalan dan harus digendong sang ibu. 

Saya memulai pertanyaan kepada anak dengan pertanyaan ia kelas berapa, apakah banyak memiliki teman, dan peringkat berapa di kelas. 

Anak menjawab bahwa ia kelas tiga sekolah dasar (SD), memiliki banyak teman berjumlah tujuh orang, dan peringkat empat setelah semester yang lalu ia merupakan peringkat satu di kelasnya. 

Saya melanjutkan bertanya kepada kedua orang tua dari anak mengenai sakit pada seluruh badan sudah berapa lama dan apakah bertambah sakit dari hari ke hari atau sama saja sedari hari pertama. 

Mereka menjawab sudah tiga hari dan dikatakan anak bahwa sakitnya sama sedari hari pertama. 

Saya kembali menanyai kepada anak untuk menunjuk di mana saja sakitnya, seperti apa sakitnya, sakitnya apakah terus menerus atau hilang timbul, sakitnya biasa saja, sedang, atau sakit sekali, adakah yang membuat sakitnya bertambah atau berkurang, dan apakah sudah diberi obat atau dibawa ke dokter oleh orang tua terkait sakitnya. 

Anak lalu menunjuk seluruh tubuh dari kepala hingga kaki, anak tak mampu menjelaskan bagaimana sensasi sakitnya, mengatakan bahwa sakitnya terus menerus.

Menurut anak sakitnya adalah sakit sekali, dan dirasa tidak ada yang membuat sakitnya bertambah atau berkurang, oleh orang tua anak sudah dibawa untuk cek ultrasonografi (USG) ke rumah sakit (RS) dengan biaya mandiri untuk memastikan tidak ada apa-apa di perutnya. Dan benar saja hasilnya normal, sementara sang ibu membelikan obat ibuprofen untuk anaknya. Dengan pemberian obat tersebut anak mengatakan tidak ada perbaikan dan sama saja sakitnya. 

Dan terakhir, saya memastikan apakah ada riwayat jatuh pada anak, ibu dan anak menjawab tidak ada.

Setelah mendapatkan berbagai informasi melalui pertanyaan yang saya lontarkan, saya mengamati tak ada warna kemerahan atau bengkak atau deformitas dari luar pada sendi-sendi di seluruh tubuh termasuk kaki mengingat anak mengeluhkan bahwa kakinya sakit untuk digerakkan. 

Seluruhnya normal, saya pun mencoba meraba-raba tak ada sensasi panas, benjolan, maupun krepitasi pada seluruh tulang dan sendi tubuh. 

Kemudian saya mencoba menggerakkan kaki anak yang tergantung pada tempat tidur di IGD kami, namun anak menahan sambil sedikit merintih dan mengatakan sakit sekali jika digerakkan. Anak diperiksa sambil menonton video-video dari tiktok melalui telepon pintarnya. 

Saya mencoba mengalihkan perhatiannya dengan mengajak anak berbincang tentang video tiktok seperti apa yang ia sukai. 

Ia menjawab ia senang melihat tiktok yang memperlihatkan anak-anak yang menari mengikuti lagu-lagu yang sedang viral di internet. 

Sambil menanyai segala sesuatu tentang tiktok, diam-diam saya menyentakkan kaki anak ke atas di mana pada pemeriksaan sebelumnya terdapat tahanan untuk digerakkan karena ia bersikeras bahwa akan sakit sekali jika digerakkan dan hasilnya anak sama sekali tak sadar bahwa kakinya telah disentakkan alias digerakkan secara keras ke atas dan sama sekali tak menunjukkan bahwa ia kesakitan, dan anak terus tersenyum menceritakan video-video yang ada di tiktok kepada saya walau saya bermodal pengetahuan tiktok seadanya. 

Secara terpisah, lalu saya mencoba menanyai orang tua di luar ruangan IGD untuk mendapatkan informasi terpisah mengenai anak. 

Saya memulai dengan menjelaskan hasil anamnesis (hasil bertanya kepada pasien) dan pemeriksaan fisik yang telah saya lakukan. 

Saya menjelaskan bahwa dari anamnesis tidak ada kemungkinan diagnosis mengarah pada kelainan pada organ (kelainan organik) yang dapat ditarik dan telah dipastikan melalui pemeriksaan fisik yang juga menunjukkan bahwa sejauh ini pemeriksaan adalah dalam batas normal. Lalu saya mengajak orang tua pasien untuk mengingat apa yang terjadi beberapa minggu terakhir. 

Orang tua menjawab bahwa anak baru saja memasuki semester baru dan baru saja mendapatkan pembagian rapor sekitar dua minggu yang lalu. 

Seperti informasi yang telah saya dapatkan di awal perbincangan dengan anak, yakni peringkat berapa ia di kelas, anak menjawab ia peringkat keempat setelah sebelumnya ia merupakan juara di kelasnya. Saya lalu bertanya apakah orang tua saat itu memarahi anaknya. 

Dengan berapi-api orang tua menjawab bahwa tentu saja mereka marah karena peringkat anak yang turun. Orang tua menduga video-video tiktok merupakan penyebabnya. 

Selain itu saya bertanya apakah mungkin ada yang melakukan perundungan kepada anak di sekolahnya, orang tua menjawab tidak tahu. Namun di kalangan keluarga dan tetangga anak memang sering dikatakan ndut atau gendut untuk badannya yang memang lebih besar dibanding anak seusianya. 

Saya kemudian mengonsultasikan kasus ini kepada dokter senior di Puskesmas kami. Beliau sepakat bahwa memang tak ada kelainan organik pada pasien ini. 

Beliau meminta saya untuk memotivasi orang tua untuk membawa pasien bertemu psikolog untuk menggali lebih dalam kepada anak terkait apa yang sebenarnya ia rasakan dan untuk memastikan kecurigaan kami terhadap kasus ini merupakan malingering adalah benar. 

Mengutip definisi malingering dari Jurnal oleh Bass C, 2019, malingering adalah pemalsuan atau melebih-lebihkan penyakit (fisik atau mental) untuk mendapatkan keuntungan eksternal seperti semisal menghindari pekerjaan atau tanggung jawab, mencari obat-obatan, menghindari pengadilan (hukum), mencari perhatian, menghindari dinas militer, dan libur/menghindar dari sekolah.

Tak menutup kemungkinan anak melakukan malingering dengan tujuan menghindar dari sekolah. Entah apakah ada yang melakukan perundungan kepada anak, atau tuntutan dari orang tua terkait peringkat anak di kelas, ataukah kombinasi dari keduanya. 

Diperlukan penggalian lebih dalam kepada anak untuk dapat secara terbuka bercerita kepada orang tua tentang apa yang ia alami atau ia rasakan. 

Melalui cerita saya bersama pasien anak saya hari ini, saya menyadari dan mempelajari bahwa banyak pihak yang berperan dalam mengatasi keadaan ini dan mencegahnya terjadi di masa depan. 

Pertama, para orang tua perlu mengajak anak secara rutin mengobrol dan membuat anak merasa nyaman dengan tidak menghakimi namun aktif mendengarkan apa yang anak rasakan, untuk membuat anak mampu terbuka untuk menceritakan apa yang ia alami setiap harinya dan bagaimana perasaannya.  

Sebagai contoh dalam kasus ini ialah mengajak anak berdiskusi apa kiranya yang menjadi penyebab turunnya peringkat kelasnya dan bagaimana solusi yang tepat untuk mengatasi hal tersebut alih-alih langsung mengintimidasi perasaan anak dengan memarahi tanpa memulainya dengan diskusi. 

Terkait perundungan, orang tua dapat menanyakan pertanyaan seperti apakah ada yang melakukan perundungan kepada anak di hari itu.

Jika iya, tentu kita dapat mengkomunikasikan kepada guru-guru di sekolah dan melakukan berbagai tindak lanjut lainnya untuk mengatasi hal tersebut. Kita harus sama-sama dapat menyadari bahwa perundungan di sekolah bukanlah hal yang mustahil terjadi sekalipun di tingkat sekolah dasar. 

Sosialisasi terkait bahaya perundungan dan membuat kebijakan terkait aksi perundungan, adalah dua contoh hal yang dapat kita bersama lakukan di tingkat sekolah. 

Guru-guru harus memahami bahwa tugas guru tak hanya sebagai pendidik terkait mata pelajaran yang mereka ajarkan namun juga mendidik budi pekerti murid dengan membimbing, memberi nasihat, dan memberi arahan terkait apa yang benar dan apa yang salah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun