Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Berhenti Merokok Demi Anak

24 Juli 2022   18:42 Diperbarui: 24 Agustus 2022   20:51 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Sebagai seorang dokter internship, selain melakukan pemahiran kompetensi melalui memberikan pelayanan kesehatan individual atau kepada masyarakat baik di Rumah Sakit maupun di Puskesmas, saya berkewajiban untuk melakukan sebuah Mini Project yakni sebuah proyek kesehatan yang berisi asesmen dan intervensi kepada masyarakat terkait suatu isu kesehatan di suatu wilayah tertentu di samping membuat dan mempresentasikan beberapa laporan kasus terkait kasus-kasus pasien yang saya temui di Instalasi Gawat Darurat (IGD) maupun Instalasi Rawat Inap (IRNA). 

Sebagai dokter kami memang selalu dituntut untuk belajar. Jika ada yang berpikir setelah seorang dokter disumpah lalu ia akan berhenti belajar, jawabannya tentu saja tidak.  

Saya mengajukan sebuah Mini Project berjudul BBM Pertalite yang merupakan sebuah singkatan dari Berani Berhenti Merokok demi Pertumbuhan dan Perkembangan Balita yang Terbaik. Hal tersebut berawal dari keresahan saya setiap berjaga di poli Manajemen Terpadu Balita Sakit atau MTBS di Puskesmas saya. 

Setiap ibu yang membawa balitanya dengan keluhan batuk dan/atau pilek, jika saya tanyai apakah ada anggota keluarga yang merokok di dalam rumah, mayoritas jawaban adalah jawaban iya. Bahkan tak jarang keluhan tersebut bukan keluhan untuk pertama kalinya. 

Sudah ke sekian kalinya saya melihat tulisan dokter pada rekam medis yang masih sama di setiap kunjungannya "...ayah merokok di dalam rumah" alias tak tampak ada perbaikan diri dari kunjungan ke kunjungan berikutnya.

Dalam proses pembuatan Mini Project saya, tentu saja saya telah membekali diri dengan membaca penelitian-penelitian terdahulu di berbagai wilayah penelitian terkait hubungan merokok di dalam rumah dengan kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita. 

Hampir keseluruhan penelitian menyampaikan bahwa ada hubungan antara merokok dengan kejadian ISPA pada balita dan dengan demikian beberapa mengatakan tidak ada hubungannya. 

Pada tulisan saya yang berjudul "Ketika Hari Keluarga Nasional, Ayah Berhenti Merokok", saya telah menceritakan mengapa merokok berpengaruh terhadap pertumbuhan balita. 

Singkatnya karena rokok menyebabkan infeksi yang menghambat penyerapan nutrisi di tubuh mereka. Jika di tulisan yang lalu saya membahas pertumbuhannya, di tulisan kali ini saya akan membahas mengenai hubungannya dengan perkembangan balita, dimana paparan asap rokok diteliti memiliki korelasi dengan Intelligence Quotient (IQ) seorang anak pra-sekolah.

Penelitian oleh Natalia tahun 2012 menunjukkan perbedaan yang signifikan IQ pada kedua kelompok yakni kelompok balita dengan paparan asap rokok dan balita tanpa paparan asap rokok. Rata-rata IQ yang lebih tinggi ditunjukkan pada balita tanpa paparan asap rokok dibanding mereka yang terpapar asap rokok. 

Paparan asap rokok dipastikan dengan mengukur kadar kotinin dalam tubuh para balita. Kecerdasan IQ atau kecerdasan kognitif adalah kemampuan terkait kemampuan kognitif, bakat, intelektual, kemampuan berpikir, dan kemampuan menggunakan logika secara umum. 

Memiliki anak dengan kecerdasan IQ tentu saja harapan seluruh orang tua. Harapan harus sesuai dengan usaha. Orang tua harus berusaha menghindarkan anaknya dari paparan asap rokok yang membahayakan IQ sang anak. 

Sering di beberapa kesempatan saya bertemu dan berbincang dengan seorang perokok. Saya bertanya apa yang membuat ia terus merokok padahal ia sudah tahu jika banyak kerugian dari merokok. 

Para perokok akan menjawab bahwa ia tak merasakan kerugian yang selama ini ia baca atau dengar dari masyarakat ataupun media massa. Perokok cenderung akan mempertahankan ideologi yang ia miliki dengan segala sesat pikir yang ia pertahankan. 

Oleh karena itu, penulis berharap agar kita entah laki-laki atau perempuan tak memilih pasangan yang merokok sedari awal pertemuan. Kita diminta menjadi pasangan yang toleran untuk segala dampak yang ia timbulkan. Tentu saja ini merugikan. Kebiasaan merokoknya dapat menjamah kesehatan anak yang kemudian mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya. 

Penulis menghimbau agar anggota keluarga tak merokok. Siapapun baik laki-laki atau perempuan harus menyadari dampak yang ditimbulkan dari merokok. Tak ada keuntungan sama sekali yang dari kebiasaan merokok. Tindakan abai terhadap kebiasaan merokok yang terus menerus dibudidayakan hanya akan membuat kelompok-kelompok rentan semakin rentan. Membuat kelompok anak yang tak tahu menahu menjadi perokok pasif berkepanjangan. Sesuai judul Mini Project saya, BBM Pertalite: Mari berani berhenti merokok untuk pertumbuhan dan perkembangan balita yang terbaik di masa kini dan di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun