Namun, prinsip inklusivitas dalam toko ini lah yang membuat saya tak dapat berhenti merasa terharu dari awal bertemu dengan sang pelayan dan pemilik toko hingga perjalanan pulang karena terus memikirkan betapa bersyukurnya untuk berbelanja di toko tersebut dan melihat dengan mata kepala sendiri seorang difabel tuna wicara diberi kesempatan untuk turut berpartisipasi dalam lapangan kerja.Â
Hingga sekarang tentu kita sering menemui bahwa seorang differently-abled atau difabel masih mengalami diskriminasi dalam berbagai bidang, semisal dalam bidang pelayanan publik, kesehatan, pendidikan, transportasi publik, dan termasuk di dalam bidang lapangan kerja.Â
Difabel masih mendapat stigma negatif seolah-olah mereka tidak bisa melakukan apa-apa. Padahal tentu saja tidak seperti itu. Buktinya saja pelayan hari ini tadi dapat melayani saya sama seperti saat saya dilayani seorang non-difabel.Â
Tidak ada perbedaan dari luaran yang dihasilkan alias lewat bantuannya lah saya dapat menemukan si kecap saus tiram. Sekali lagi, kita tak dapat menggeneralisir bahwa seluruh difabel memiliki keterbatasan yang sama apalagi beranggapan jika seorang difabel tak bisa melakukan apa-apa.Â
Benar jika pelayan ini adalah seorang tuna wicara yang memang memiliki keterbatasan dalam berbicara. Artikulasinya tak jelas membuat kita memang harus mendengarnya dengan seksama. Namun patut diingat bahwa jiwa cekatan yang ia miliki lah yang membuat saya melupakan artikulasinya dan membuat saya semakin ingin merangkul keterbatasannya.Â
Melihat seorang difabel sama seperti non-difabel adalah hal yang saya kira harus kita praktikkan di dunia kerja. Yakni melihat secara objektif apakah seseorang dapat menuntaskan pekerjaan yang diamanahkan kepadanya.Â
Artinya, jika seorang difabel tak dapat menuntaskan pekerjaannya tentu ia tak layak berada di suatu amanah. Begitu juga dengan seorang non-difabel. Siapapun jika tak dapat memenuhi kompetensi yang diharapkan, tentu harus berbenah.Â
Sehingga, tidak melihat seseorang hanya secara superfisial namun secara profunda kiranya adalah kata kuncinya. Karena dengan melihat secara superfisial akan mengarahkan seseorang pada praduga yang tak berdasar yang pada akhirnya hanya akan mencemari upaya kesetaraan.Â
Masyarakat harus berpartisipasi aktif untuk mewujudkan lingkungan yang ramah difabel. Terhindar dari diskiriminasi, penelantaran, eksploitasi, pelecehan maupun tindak kekerasan. Tak luput, sudah seharusnya media massa turut membantu dalam membangun stigma positif terhadap difabel.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H