Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Toko di Ujung Desa yang Mempekerjakan Seorang Difabel

21 Juli 2022   21:08 Diperbarui: 21 Juli 2022   21:27 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa bulan terakhir ini, saya bermukim di sebuah kecamatan bernama Kecamatan Kusan Hilir di Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan untuk menjalani sebuah program bernama Program Internship Dokter Indonesia atau disingkat sebagai PIDI selama 12 bulan. 

Sejauh ini telah berjalan 8 bulan, dan tersisa 4 bulan lagi waktu saya disini. Saya menikmati setiap detik proses saya mengabdi sebagai seorang dokter internship. Namun tak terbatas hanya pada menikmati pekerjaan saya sebagai seorang dokter internship disini, saya pun juga menikmati status sementara saya sebagai salah satu penduduk Kecamatan Kusan Hilir. 

Setiap sore sepulang dari bekerja di Puskesmas, saya akan berlari memutari desa demi desa di kecamatan ini untuk memperoleh manfaat sehat dan untuk bersosialisasi dengan masyarakat walau dalam waktu singkat. 

Sore ini, saya berlari hingga ke desa Pasar Baru, tak jauh dari rumah dinas saya yakni di Kelurahan Kota Pagatan. Di sana saya bermaksud untuk seperti biasa melaksanakan olahraga lari dan sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui dengan berbelanja sembako seperti bahan-bahan memasak yang saya persiapkan untuk seminggu ke depan. 

Saya mendatangi sebuah toko yang tak terlalu besar namun juga tak kecil alias sebuah toko berukuran sedang yang terletak di ujung desa. 

Sambil mengelilingi setiap sudut toko demi mencari sembako yang saya butuhkan, saya didatangi seorang laki-laki cekatan  yang bertanya apakah ada yang bisa ia bantu. Saya berkata bahwa saya mencari kecap saus tiram dalam bentuk kemasan sachet. Sebenarnya, saya sungguh ragu-ragu apakah jawaban saya sudah sesuai dengan apa yang laki-laki yang saya asumsikan sebagai pelayan toko ini tanyakan kepada saya. 

Pelayan ini memang nampak tak dapat berbicara dengan jelas. Artikulasinya terdengar sayup-sayup. Ia lalu membawakan saya sebuah kecap saus tiram dari rak yang memang jauh dari pandangan saya. 

Setelah selesai mengumpulkan berbagai sembako yang saya inginkan dan sudah saya catat rapi melalui sebuah aplikasi catatan di telpon pintar saya, saya lalu pergi ke arah meja kasir. 

Sang pelayan ini lalu mengambil kantong plastik sambil memanggil seseorang yang saya asumsikan sebagai pemilik dari toko tersebut yang nampak sedang berbincang dengan orang lain di sebuah gudang kecil penyimpanan stok. Pelayan ini lalu memainkan kantong plastik dengan membolak balik sisi dalam dan sisi luar kantong plastik berulang kali. 

Pemilik toko datang sambil tersenyum kepada pelayannya dan lalu melemparkan senyum kepada saya. Tak saya kira bahwa ternyata tak perlu melakukan percakapan dengan mengeluarkan kata dan kalimat untuk saling memahami satu sama lain.  Betul kata peribahasa, bahwa ada seribu bahasa di dunia tetapi senyum berbicara semuanya.

Saya tersenyum dari balik masker sambil mengamati betapa indahnya toko sembako ini. Bukan indah yang dimaksud dari segi interior ataupun eksterior yang toko ini miliki. Lantainya saja ditutupi kardus-kardus dari berkas kardus air mineral. Dinding-dindingnya beberapa terkelupas dan warnanya sudah tak putih lagi. 

Namun, prinsip inklusivitas dalam toko ini lah yang membuat saya tak dapat berhenti merasa terharu dari awal bertemu dengan sang pelayan dan pemilik toko hingga perjalanan pulang karena terus memikirkan betapa bersyukurnya untuk berbelanja di toko tersebut dan melihat dengan mata kepala sendiri seorang difabel tuna wicara diberi kesempatan untuk turut berpartisipasi dalam lapangan kerja. 

Hingga sekarang tentu kita sering menemui bahwa seorang differently-abled atau difabel masih mengalami diskriminasi dalam berbagai bidang, semisal dalam bidang pelayanan publik, kesehatan, pendidikan, transportasi publik, dan termasuk di dalam bidang lapangan kerja. 

Difabel masih mendapat stigma negatif seolah-olah mereka tidak bisa melakukan apa-apa. Padahal tentu saja tidak seperti itu. Buktinya saja pelayan hari ini tadi dapat melayani saya sama seperti saat saya dilayani seorang non-difabel. 

Tidak ada perbedaan dari luaran yang dihasilkan alias lewat bantuannya lah saya dapat menemukan si kecap saus tiram. Sekali lagi, kita tak dapat menggeneralisir bahwa seluruh difabel memiliki keterbatasan yang sama apalagi beranggapan jika seorang difabel tak bisa melakukan apa-apa. 

Benar jika pelayan ini adalah seorang tuna wicara yang memang memiliki keterbatasan dalam berbicara. Artikulasinya tak jelas membuat kita memang harus mendengarnya dengan seksama. Namun patut diingat bahwa jiwa cekatan yang ia miliki lah yang membuat saya melupakan artikulasinya dan membuat saya semakin ingin merangkul keterbatasannya. 

Melihat seorang difabel sama seperti non-difabel adalah hal yang saya kira harus kita praktikkan di dunia kerja. Yakni melihat secara objektif apakah seseorang dapat menuntaskan pekerjaan yang diamanahkan kepadanya. 

Artinya, jika seorang difabel tak dapat menuntaskan pekerjaannya tentu ia tak layak berada di suatu amanah. Begitu juga dengan seorang non-difabel. Siapapun jika tak dapat memenuhi kompetensi yang diharapkan, tentu harus berbenah. 

Sehingga, tidak melihat seseorang hanya secara superfisial namun secara profunda kiranya adalah kata kuncinya. Karena dengan melihat secara superfisial akan mengarahkan seseorang pada praduga yang tak berdasar yang pada akhirnya hanya akan mencemari upaya kesetaraan. 

Masyarakat harus berpartisipasi aktif untuk mewujudkan lingkungan yang ramah difabel. Terhindar dari diskiriminasi, penelantaran, eksploitasi, pelecehan maupun tindak kekerasan. Tak luput, sudah seharusnya media massa turut membantu dalam membangun stigma positif terhadap difabel. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun