Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Herbal Medicine dan Titik Potong Skeptisisme

11 Juli 2022   20:25 Diperbarui: 11 Juli 2022   20:42 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Beberapa waktu yang lalu saat saya berjaga di poli umum Puskesmas, datanglah seorang wanita paruh baya sambil memegang tengkuknya. Mengatakan bahwa ia merasa sakit di bagian tersebut sudah kurang lebih 2 hari hingga ia tak bisa tidur. 

Selain itu, tadi malam ia mengaku sempat mengeluhkan sakit di bagian dada kiri namun tak berlangsung lama, kira-kira sekitar 2 menit. 

Saya langsung mencurigai bisa jadi kadar kolesterol pada pasien ini tinggi, sehingga mengisi sekitar pembuluh darah dan membuat aliran darah di daerah tengkuk dan juga pembuluh darah pada jantung alias arteri koroner tak lancar dan akhirnya sempat menimbulkan nyeri dada.

Kemudian, saya membuatkan pasien sebuah surat permintaan pemeriksaan kolesterol ke laboratorium Puskesmas. Benar saja total kolesterol adalah 400 an ke atas. Saya lupa persisnya berapa. Yang jelas, akhirnya pasien ini saya diagnosis sebagai dislipidemia. Lalu, saya mulai menstratifikasi risiko dislipidemia pada pasien ini. Kemudian menuliskan obat tablet simvastatin pada kertas resep. 

Setelah saya memberikan edukasi mengenai penyakit yang diderita ibu tersebut dan kapan ia harus kembali ke Puskesmas, sambil menyerahkan selembar kertas resep berisi obat untuk ia konsumsi, secara proaktif dan bahkan sebelum saya memberikan pertanyaan ultimatum sekaligus pertanyaan terakhir "Apakah ada yang ingin ibu tanyakan?", sang ibu melemparkan sebuah pertanyaan yang menurut saya begitu sulit. 

"Dok, apakah dokter pernah belajar mengenai obat-obat herbal selama kuliah di kedokteran? Sejujurnya saya ingin sekali mengkonsumsi obat herbal. Entah kenapa masih sulit untuk saya berteman dengan obat-obat yang tidak herbal.."

Apakah ini terbatas sulit untuk saya? Atau apakah rekan-rekan sejawat dokter yang sekarang turut membaca tulisan saya pun ikut merasakan kesulitan saya di hari itu?

Pertanyaan dari beliau membuat saya akhirnya melakukan kilas balik saat saya berkuliah di tahun terakhir S1 kedokteran. Saya ingat bahwa dahulu program studi saya pernah menawarkan sebuah blok peminatan herbal bagi mahasiswa yang ingin mendalami herbal medicine selama satu blok alias satu setengah bulan. 

Tak terpikirkan sama sekali di saat itu bahwa andai saja saya mengikuti blok tersebut, saya tentu tidak akan kesulitan menjawab pertanyaan ibu itu. Saat itu saya ingat bahwa saya lebih memilih blok peminatan infeksi menular seksual. Nampaknya waktu itu saya hanya ikut-ikutan. Mengikuti teman-teman dekat saya yang mayoritas memang memilih blok tersebut. 

Setelah meratapi penyesalan mengapa saya tak mengikuti blok peminatan mengenai kedokteran herbal atau herbal medicine tersebut, saya lalu berpikir, andai blok tersebut adalah blok yang wajib di universitas saya (dan harapannya sih juga wajib di seluruh universitas di Indonesia) tentu paling tidak ada satu atau dua tanaman herbal yang saat itu pasti sempat terlintas di kepala saya. 

Namun saya memahami mengapa herbal medicine tidak dijadikan blok wajib di fakultas kedokteran seluruh Indonesia. Mengingat, belum meratanya bukti ilmiah pada seluruh tanaman-tanaman herbal di Indonesia. 

Minimnya penelitian terkait tanaman-tanaman herbal ialah salah satu faktor yang membuat tak meratanya bukti ilmiah pada penggunaan tanaman tersebut dalam menyembuhkan suatu penyakit. 

Penggunaan tanaman herbal pun masih pro kontra dalam penggunaannya sebagai komplementer terhadap obat-obat konvensional apalagi menjadi terapi yang berdiri sendiri. 

Banyak pihak khawatir jika meresepkan tanaman herbal pada akhirnya membuat beberapa masyarakat diam-diam menjadikannya satu-satunya terapi dan bahkan hingga meninggalkan obat konvensional sebagai obat utama. 

Dalam hal ini edukasi yang ekstra tentu adalah kuncinya. Namun bermain dengan api adalah kalimat yang sekiranya mampu menggambarkan kekhawatiran terhadap masa depan peresepan herbal oleh dokter-dokter di Indonesia. 

Tentu perjalanan penggunaan tanaman herbal yang lebih luas di masa depan ini masih begitu panjang. Diperlukan lebih banyak bukti ilmiah untuk menerangkan efikasi dari masing-masing tanaman herbal. 

Peresepan tanaman-tanaman herbal ini sebagai obat tentu tak lepas dari edukasi yang baik kepada masyarakat mengenai bagaimana dan sejauh apa peranan tanaman herbal ini terhadap penyakitnya dan kapan sudah harus dipadukan dengan obat konvensional dan kapan tanaman herbal sudah sama sekali tak usah digunakan. 

Jika keilmiah dari tanaman-tanaman herbal ini semakin jelas, tentu langkah selanjutnya ialah pengintegrasian pengetahuan terkait tanaman-tanaman herbal di Indonesia ke dalam kurikulum kedokteran. 

Sehingga ke depannya, tak akan ada lagi dokter-dokter yang skeptis dan tak memahami peranan tanaman herbal sebagai terapi terhadap penyakit-penyakit tertentu. Kemudian sudah seyogyanya menjadi tugas pemerintah untuk selanjutnya dapat menyediakan tanaman-tanaman herbal dalam paket Jaminan Kesehatan Nasional. 

Saat itu saya hanya bisa menjawab kepada si ibu, bahwa selama ini kedokteran memang belum banyak membahas tentang herbal. Saya menjelaskan bahwa selama 5.5 tahun saya berkuliah kedokteran, saya memang hanya selalu terpapar dengan informasi dan pengetahuan-pengetahuan terkait obat-obat konvensional alias non-herbal. 

Saya menjelaskan bahwa boleh-boleh saja jika beliau ingin menggunakan herbal jika memang ada yang menawari beliau tanaman-tanaman herbal, namun saya mengingatkan bahwa saya berharap agar obat-obat konvensional tetap dijadikan obat utama bagi beliau mengingat obat tersebut lah yang sudah memiliki bukti ilmiah yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. Dan perlu dipahami bahwa ada interaksi pada obat-obat konvensional dan obat herbal yang bisa saja mengurangi efikasi satu sama lain. 

Sebagai penutup, penulis berharap melalui tulisan ini dapat memberikan pencerahan bahwa kita harus sesegeranya dapat menemukan titik potong dari sebuah potret masyarakat yang skeptis dengan obat-obat konvensional dan potret dokter-dokter yang skeptis dengan obat-obat herbal, demi kesehatan masyarakat Indonesia yang lebih optimal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun