Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Psikosomatis, Roti Lapisan Atas Sandwich, dan Arisan yang Menyembuhkan

7 Juli 2022   15:28 Diperbarui: 7 Juli 2022   20:36 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Psikosomatis pada lansia (Sumber: shutterstock)

Dua hari yang lalu, saat saya berjaga di Instalasi Gawat Darurat (IGD), pagi-pagi sekali saya sudah didatangi dua lansia. Seorang nenek dan kakek yang saling berpegangan untuk menaiki lantai teras IGD Puskesmas kami yang sedikit meninggi dari tanah. Pagi itu si kakek yang mengantarkan nenek ke IGD. 

Pasien-pasien yang datang ke IGD kami memang tak seluruhnya pasien bertriase merah, kuning, atau hitam. Banyak sekali pasien-pasien dengan triase hijau nan segar bugar mendatangi IGD kami alih-alih merencanakan pergi ke poli. Awal-awal bekerja sebagai dokter internship di sini, saya memang begitu terkejut. 

Kasus-kasus ringan seperti bapak yang ingin kontrol kadar gula darahnya, bisa saja mendatangi kami ke IGD di sore atau malam hari. 

Dan alih-alih menolak, kami menerimanya saja, memeriksanya, dan lalu meresepkan obat hingga memberikan edukasi ke pasien karena ini sudah terlanjur menjadi budaya. 

Memang tak mudah untuk memberikan edukasi ke masyarakat terkait apa perbedaan peruntukan IGD dan poli, karena jika menolak untuk merawat, bisa saja celurit bertindak. 

Sang nenek mengatakan sudah sebulan terakhir ini beliau merasa badannya begitu lemas, kaki terasa dingin, dan setiap bernafas terasa sesak. 

Saat ditanya adakah waktu-waktu tertentu, beliau merasa lemas dan kakinya dingin. Beliau menjawab waktunya tak jelas dan bisa saja datang sewaktu-waktu di sepanjang hari tersebut. 

Saat ditanya kapan beliau merasa sesak, beliau juga menjawab waktunya tak jelas tapi sesekali setelah meminum obat beliau merasa justru bertambah sesak. Tidak ada yang dirasa meringankan gejala. 

Beliau mengatakan bahwa beliau memiliki riwayat penyakit sindroma dispepsia atau yang kerap kita kenal dengan maag. Namun, menurut sang nenek dengan pemberian obat-obat untuk dispepsianya baik oleh dokter spesialis ataupun dokter umum justru memperburuk gejala-gejalanya yakni menjadi lebih sesak dan kakinya terasa semakin dingin. 

Obat-obat yang diberikan oleh berbagai macam dokter akhirnya tak beliau minum karena bagi beliau tak sedikit pun memberikan kesembuhan. Tidak ada keluhan di organ lain seperti demam, sakit kepala, sakit dada, sakit perut, batuk pilek, muntah, konstipasi, ataupun diare. 

Makan minum sudah berkurang satu minggu terakhir karena tak ada satu pun makanan yang membuatnya berselera. 

Dikatakan tak ada riwayat tekanan darah tinggi, gula darah tinggi, penyakit jantung, penyakit alergi, ataupun penyakit keturunan. 

Setelah melakukan anamnesis, walau sudah mengantongi diagnosis banding, saya tak ingin buru-buru membuat kesimpulan atas apa yang beliau sampaikan. Kemudian kami lakukan pemeriksaan tekanan darah, laju nadi, laju nafas, suhu, dan saturasi oksigen di dalam darah. 

Keseluruhan hasilnya adalah normal. Tekanan darah yang tak rendah ataupun tinggi. Laju nadi sedikit meningkat dari rentang normal yakni 104 dari normalnya 60 hingga 100. Laju nafas yang normal dan tak menunjukkan ke arah-arah sesak. Suhu tubuh pun normal. 

Saturasi oksigen 99% tanpa oksigen yang berarti juga dalam rentang normal. Saya melanjutkan melakukan pemeriksaan head to toe alias dari kepala hingga kaki. Seluruhnya normal. 

Saya melanjutkan dengan pemeriksaan kadar gula darah stick. Didapatkan hasil normal. Akhirnya, gangguan psikosomatis yang merupakan gabungan dari dua kata, yaitu psiko atau pikiran (psyche) dan somatis  atau tubuh (soma) menjadi diagnosis yang saat itu berputar-putar di kepala saya dan akhirnya menjadi kesimpulan saya untuk sementara. 

Saya pun melanjutkan mengonsultasikan diagnosis saya dengan dokter utama di Puskesmas ini dan diagnosis saya disetujui. 

Sebagai informasi, gangguan psikosomatis adalah keluhan fisik yang timbul atau dipengaruhi oleh pikiran atau emosi. Kondisi yang menyebabkan pasien merasa sakit dan mengalami gangguan fungsi tubuh. Namun, saat dilakukan pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang lain, tidak ada keanehan yang terjadi dalam tubuh. 

Setelah memastikan diagnosis saya melalui mengonsultasikannya ke dokter utama di Puskesmas ini, saya mengajak sang kakek untuk berbincang sebentar di luar ruangan IGD Puskesmas. 

Saya ingin mendengar secara langsung perspektif beliau, secara terpisah dari istrinya, terkait kondisi yang dialami istrinya. 

Saya memulai bertanya dengan melemparkan kata-kata prolog yang lumayan panjang terkait serangkaian anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang saya lakukan kepada pasien. Saya menjelaskan tak menemui kelainan yang terjadi pada tubuh pasien. 

Saya pun melanjutkan ke inti dari mengapa saya mengajak si kakek berbicara di luar. Perlahan-lahan saya melontarkan pertanyaan apakah sekiranya ada masalah di dalam rumah atau di luar rumah yang mungkin menjadi beban pikiran. 

Beliau menjawab tidak ada. Sekilas saya melihat sang kakek sudah cukup tulus dan kooperatif dalam menerangkannya sehingga saya mencoba mempercayainya. 

Tak menemukan petunjuk atau kata kunci yang begitu saya harapkan dilontarkan oleh sang kakek, akhirnya saya mencoba bertanya langsung kepada si nenek. 

Tak sedikit pun saya menyangka bahwa saya akan membuat seorang nenek usia 74 tahun menjadi berbinar-binar, hingga akhirnya jreng...meneteskan air mata. 

Beliau bercerita bahwa beliau merasa kesepian di penghujung usianya. Beliau merasa bahwa semakin tua ia semakin merasa tak berguna. 

Beliau merasa tak enak kepada anaknya yang harus menghidupi putrinya (cucunya), beliau, serta suami beliau. 

Teringat beberapa waktu yang lalu saat saya membaca artikel mengenai generasi sandwich. Generasi yang harus menghidupi satu generasi di bawahnya alias anak-anaknya dan menghidupi satu generasi di atasnya yakni ayah/ibunya. Hampir seluruh artikel membahas mengenai kondisi mental yang rentan pada mereka-mereka yang diidentifikasi sebagai generasi sandwich. Ternyata tak hanya mental para generasi sandwich saja yang rentan. Roti bagian atas yang menutup daging dan tomat sebuah sandwich pun turut rentan. 

Saya bertanya kepada nenek adakah yang membuat gejalanya menjadi ringan. Kali ini akhirnya nenek dapat berterus terang. Berbeda dari penuturan pertama di anamnesis saat beliau berkata tak ada satu pun yang memperingan gejala. 

Beliau berkata bahwa bertemu anak cucu serta menghadiri arisan atau pengajian satu kali dalam seminggu di sekitar rumahnya dapat menghilangkan gejala tak enak yang dialaminya melalui bercerita kepada sesama lansia yang memiliki masalah yang sama dan rasanya seperti hari itu sesaat beliau tak memiliki penyakit apa-apa. 

Di akhir percakapan, saya menyarankan nenek untuk bertemu psikiater di rumah sakit umum daerah (RSUD). 

Saya menyebutkan psikiater sebagai dokter pikiran alih-alih dokter jiwa. Mengingat stigma masyarakat sini yang masih begitu kental bahwa dokter jiwa hanya untuk mereka-mereka yang gila. 

Sembari membuatkan surat rujukan ke psikiater di RSUD, saya menceritakan bahwa akan menyenangkan jika si nenek mencari hobi untuk dapat melupakan masalah-masalahnya dan tak memberi sedikit pun waktu kosong untuk beliau meratapi keadaannya. 

Saya bertanya apa hobi si nenek, beliau hanya melemparkan senyum tertawa di antara gigi-gigi lansia yang khas di usia senja. 

Beliau berkata bahwa beliau tak memiliki hobi dan meminta saya mencarikan hobi untuknya. 

Saya menjawab, "Bagaimana dengan menyulam, Nek?" padahal dalam hati ini saya begitu ingin menyampaikan, "Bagaimana dengan membuat video TikTok, Nek?". Bercanda. 

Senang melihat sang nenek tersenyum lebar setelah tetesan air matanya yang mengejutkan di pagi buta. 

Penulis berharap melalui potret nyata lansia dan masalah kesehatan mentalnya di penghujung usia senja ini dapat menjadi perhatian kita bersama.

Yakni untuk meningkatkan kesadaran bahwa kesehatan mental dapat menghantui kita pada siklus hidup apapun yang mana tak menutup kemungkinan pada usia senja. 

Oleh karena itu, diperlukan peran semua orang untuk menciptakan ruang yang ramah akan jiwa lansia. 

Dalam hal ini, peran keluarga inti, keluarga besar, hingga tetangga untuk rutin berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain menjadi sangat krusial.

Dan pada akhirnya, dapat memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tertinggal dalam upaya kesehatan mental. 

Make sure no one left behind! Health for all!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun