Rasa gugup saat menjadi sandera bercampur dengan rasa terkejut saat ia mengetahui bahwa ia dijamin oleh JKN dan rasa haru akhirnya ia tak perlu melepaskan ikatan uang yang telah ia siapkan dalam kantong plastik merahnya dan dapat disimpan untuk pengeluaran-pengeluarannya yang lain.
Dari tulisan ini, saya ingin membagikan salah satu potret situasi salah satu contoh keluarga yang tak mengetahui bahwa ia memiliki JKN dan yang berarti biaya kesehatannya dijamin oleh pemerintah.Â
Saya pikir hal ini bisa salah satunya disebabkan oleh kurangnya sosialisasi terkait siapa saja yang menerima bantuan iuran JKN di suatu desa oleh kepala desa dan perangkat-perangkatnya yang seharusnya menjadi pihak berwenang untuk menerangkan hal tersebut. Namun, lagi-lagi saya tidak tahu realitanya bagaimana. Saya hanya mencoba menduga-duga penyebabnya.Â
Jika benar hal tersebut terjadi akibat kurangnya sosialisasi, tentu saya mendesak pemerintah untuk dapat memasifkan sosialisasi terkait JKN kepada seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali, dan dalam hal ini terutama yang ditekankan adalah PBI, karena PBI sebagai penerima iuran sering kali tak mengetahui bahwa ia memiliki JKN karena ia tak membayar iuran sendiri.Â
Saya kembali membayangkan situasi saat ibu pasien tak menyadari ia memiliki JKN, tentu saja pergi ke fasilitas kesehatan akan ia putuskan dengan penuh pertimbangan.Â
Akhirnya, tak menutup kemungkinan kurangnya sosialisasi terkait kepemilikan dan pemanfaatan fasilitas JKN ini dapat membuat pasien jatuh ke kondisi penyakit yang sudah sangat sulit diselamatkan alias prognosis buruk dalam kedokteran.Â
Andai saja pasien tak memiliki keraguan akan biaya yang harus ia keluarkan, harapannya pasien dapat datang lebih awal ke fasilitas kesehatan dan prognosis yang lebih bonam (baik) karena mengurangi salah satu faktor hambatan dalam pengambilan keputusan untuk berangkat ke fasilitas kesehatan.Â