Saya akan melanjutkan cerita pasien kemarin yang membawa anaknya diam-diam ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Puskesmas saat suaminya tak ada di rumah (Klik: Potret Budaya Patriarki, Relasi Kuasa, dan Ancamannya terhadap Kesehatan Anak).Â
Kami bertanya apakah beliau dan anak beliau memiliki BPJS. Beliau mengatakan bahwa beliau tak memiliki BPJS dan bersedia saja untuk menjadi pasien umum. Sebenarnya penyebutan yang tepat tentu saja apakah beliau memiliki kartu JKN, namun entah bagaimana ceritanya masyarakat kita lebih sering menyebut badan penyelenggaranya dibanding programnya.Â
"Tidak apa-apa saya sudah menyiapkan uang dari rumah.." ucapnya sambil memegangi anaknya saat hendak kami lakukan pemeriksaan.
"Hmm.. ibu bawa kartu keluarga?" balas salah satu perawat kami yang ingin mencoba melakukan pengecekan jika saja ibunya adalah seorang PBI JKN (Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional).
"Oh saya bawa.." jawabnya. Ia lalu membuka kantong plastik ukuran sedang berwarna merah, yang sekilas saya lihat berisi seikat uang yang mungkin telah ia siapkan dari rumah, dan beberapa kartu seperti kartu keluarga dan kartu tanda penduduk miliknya.Â
Beliau memang nampak terburu-buru hingga segala sesuatunya beliau masukkan sembarangan saja ke dalam kantong plastik. Rasa kesal kami yang begitu merasuk di awal dikarenakan sang ibu yang baru saja membawa anaknya yang sesak setelah 2 hari menahan sesak di rumah seketika hilang karena berpindahnya kekesalan kami kepada suaminya yang bersikeras untuk tak membawa anaknya ke fasilitas kesehatan manapun termasuk Puskesmas dan ditambah betapa terburu-burunya sang ibu tak lain tak bukan agar dapat segera kembali ke rumah dan suaminya tak akan tahu jika ia telah membawa anak mereka ke Puskesmas membuat perasaan saya justru berubah tak karuan. Perasaan sedih bercampur rasa bersalah karena telah memiliki prasangka.
Setelah kami melakukan pengecekan nomor kartu keluarga pasien tersebut, kami menemukan bahwa pasien dijamin oleh JKN. Kami begitu heran, mengapa bisa pasien tak mengetahui bahwa ia tak memiliki JKN.Â
Namun, rasa heran kami tak berlangsung lama karena ada rasa yang jauh lebih mendominasi saat itu yakni rasa tak tega kami melihat anak yang duduk bertopang tangan pada tempat tidur pasien karena sesak nafas yang luar biasa. Untung saja bibir sang anak tak sampai kebiruan, atau menandakan kadar oksigen dalam tubuh benar-benar kurang. Mungkin doa ibu yang terdzalimi budaya patriarki ini yang telah menyelamatkan anaknya.
Setelah 3x melakukan nebulisasi, anak berespon terhadap pengobatan. Kemudian, kami memberikan obat rawat jalan dan meminta untuk kontrol ke Puskesmas kembali, walau kami tak yakin apakah pasien dan anaknya akan datang untuk kontrol jika kepala keluarganya yang masih saja memegang posisi tertinggi dan absolut untuk pengambilan keputusan di dalam keluarga.Â
Sesaat sebelum pulang, ibu pasien berkali-kali mengucap terima kasih, membuat kami akhirnya turut berkali-kali mengucap sama-sama. Saya pikir tak hanya kami yang pagi itu perasaannya bercampur aduk.Â
Sang ibulah kiranya yang perasaannya lebih bercampur aduk. Ia tentu seperti berada di dalam film dimana ia harus lolos dari penyanderanya saat ia merupakan sanderaan. Sanderaan atas haknya untuk turut berpendapat dalam keluarga untuk kesehatan dan kesejahteraan anaknya.Â