Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Menantikan Integrasi Data Kesehatan untuk Mengobati Duka Rujukan Berjenjang

19 Juni 2022   15:37 Diperbarui: 21 Juni 2022   07:25 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dokter (PIXABAY/CKSTOCKPHOTO) 

Kita harus bersyukur dengan telah banyaknya manfaat yang kita rasakan di dunia kesehatan setelah diberlakukannya sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejak 2014 silam. 

Era JKN merupakan era yang memberlakukan sistem rujukan berjenjang yang dimulai dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer (FKTP), atau dengan kata lain, dengan diberlakukannya program JKN, program ini membuat masyarakat yang akan berobat ke rumah sakit dengan kartu JKN harus mendapat rujukan terlebih dahulu dari Klinik/Puskesmas. 

Rujukan akan diberikan kepada peserta JKN jika kasus penyakit peserta JKN merupakan kasus-kasus penyakit spesialistik yang tidak dapat ditangani di tingkat primer atau bisa saja merupakan kasus-kasus non-spesialistik yang seharusnya dapat ditangani di tingkat primer menurut aturan yang ada, 

Namun pada penyelenggaraannya tidak dapat ditangani karena keterbatasan sumber daya seperti alat untuk mendiagnosis serta keterbatasan dalam memberikan terapi semisal keterbatasan obat. 

Sistem rujukan berjenjang merupakan salah satu upaya peningkatan kerja sama antar fasilitas kesehatan yang dilakukan dalam rangka penguatan pelayanan primer serta sebagai upaya untuk penyelenggaraan kendali mutu dan biaya. 

Suatu hari, setelah membuatkan surat rujukan untuk pasien yang rutin kontrol selama 3 tahun terakhir penyakit Henoch Schonlein Purpuranya atau penyakit peradangan pada pembuluh darah kecil sistemik yang ditandai dengan adanya bintil-bintil merah pada tempat salah satunya kaki tanpa adanya masalah pada kadar trombosit ke RS Umum Daerah Tipe A yang terdapat Dokter Anak Sub-spesialis Alergi Imunologi. 

Saya mencoba untuk mencari beragam tanggapan terkait pengalaman masyarakat dalam sistem rujukan berjenjang dengan berjelajah di internet karena tentu proses bolak-balik seperti ini bukanlah sebuah proses yang mudah.

"Prosesnya merepotkan"

"Saya harus libur bekerja berhari-hari untuk mengurus rujukan berjenjang"

"Saya kira setelah saya ke RS obatnya lebih lengkap, ternyata juga beli obat di luaran"

"Prosesnya sungguh tidak praktis"

"Sudah ditanya A-Z dan diperiksa di Puskesmas, ditanya lagi A-Z di RS"

Komentar terakhir dari netizen (internet citizen) yang saya temui di salah satu forum daring yang membahas mengenai sistem rujukan berjenjang ini langsung membuat saya mengiyakan bentuk kontra yang dirasakan oleh beliau, dan tak menutup kemungkinan juga dirasakan oleh banyak masyarakat lain yang mungkin belum saja diaspirasikan.

Walau mungkin maksud pemerintah selaku penyelenggara JKN benarlah suatu maksud yang baik karena menghadirkan JKN dengan maksud untuk mengendalikan mutu dan biaya pelayanan kesehatan, saya mempelajari bahwa menjadi pasien di era JKN memang lah suatu hal yang melelahkan. 

Saya memang sangat pro dengan skema JKN dibanding era sebelum tidak adanya JKN, karena era tanpa JKN membuat kita Sadikin (Sakit sedikit menjadi miskin), mengingat segala tujuan dan manfaat JKN secara kolektif yang tak terbantahkan. 

Namun, benar juga jika netizen terakhir mengeluhkan betapa lelahnya ia harus menjawab pertanyaan A sampai Z terkait penyakitnya, jika ia juga sudah mengalami pertanyaan serupa saat di fasilitas kesehatan tingkat pertama. 

Dalam hal ini, sistem informasi kesehatan nasional lah yang harus bertanggung jawab atas 'duka' yang dirasakan pasien-pasien yang mau tidak mau harus mengikuti sistem rujukan berjenjang. 

Andai saja, seluruh data dari seluruh Klinik, Puskesmas, RS dapat diintegrasikan, sehingga dokter di RS A semisal dapat mengakses data yang sudah digali di Puskesmas B, sehingga dokter di RS A hanya perlu menambahkan pertanyaan atau pemeriksaan pada data-data yang masih belum tertera alias masih kurang. 

Tentu hal ini akan mengurangi alokasi waktu pada anamnesis dan pemeriksaan yang sebenarnya sudah dilakukan dan dapat dialihkan untuk tinggal mengkonfirmasi data yang sudah ada dengan alokasi waktu yang tentu lebih singkat. 

Sejauh pemahaman saya, integrasi data kesehatan atau yang disebut juga dengan satu data kesehatan atau kerap dikenal juga sebagai interoperabilitas data kesehatan, memang telah menjadi salah satu pilar dari enam pilar Transformasi Kesehatan. 

Jika menjelajahi melalui internet, bahkan agenda ini sudah digaung-gaungkan sejak tahun 2015 awal, yang mana jika dihitung tahun 2015 hingga 2022, berarti sudah 7 tahun lamanya. 

Sebagai info, Kementerian Kesehatan telah mencanangkan 6 pilar transformasi kesehatan berdasarkan instruksi presiden yang mencakup transformasi layanan primer, layanan rujukan, ketahanan kesehatan, sumber daya manusia, pembiayaan kesehatan, dan terakhir ialah teknologi kesehatan.

Terkait integrasi data kesehatan, negara kita sudah memiliki Undang-undang (UU) sebagai payung regulasi terhadap kebijakan-kebijakan turunannya. 

Terakhir kabarnya, di awal tahun 2022, Kementerian Kesehatan melalui Digital Transformation Office (DTO) dan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) telah berupaya untuk menyusun enterprise architecture untuk penguatan fundamental sistem informasi kesehatan (SIK) di Indonesia. 

Dengan situasi negara Indonesia yang terdesentralisasi dan dengan fasilitas pelayanan kesehatan yang sangat bervariasi, koordinasi antar pemangku kepentingan dalam pemanfaatan dan pengelolaan berbagai SIK tentu saja sangat diperlukan. 

Penulis berharap melalui tulisan ini kita bersama-sama dapat memahami bahwa setiap sistem akan selalu disertai dengan pro dan kontra. Namun hal yang jauh lebih penting dari pro kontra itu sendiri ialah melihat sebuah urgensi mengapa dibentuk sistem tersebut pada awalnya. 

Tentu ada cost yang dipertaruhkan di baliknya. Dalam hal inilah diperlukan kekritisan kita sebagai masyarakat untuk terus mengawal implementasi suatu sistem dan mencari bersama bagaimana solusinya hingga mengadvokasikannya. 

Penulis juga berharap melalui tulisan ini, pemerintah dapat mengambil tindakan yang responsif atas segala pengalaman individu di lapangan. Responsif untuk melakukan perbaikan terkait implementasi yang telah digiatkan. 

Semoga dengan segara kita dapat mengobati duka masyarakat pada sistem rujukan berjenjang dengan menggiatkan kolaborasi dan komunikasi berbagai pihak demi status kesehatan masyarakat Indonesia yang lebih optimal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun