Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Implementasi Kebijakan Penggunaan Antibiotik di Indonesia yang Lemah, Salah Siapa?

10 Juni 2022   11:08 Diperbarui: 12 Juni 2022   11:52 1097
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Obat antibiotik (Sumber: shutterstock)

Tak jarang kutemui pasien membawa anaknya berobat ke dokter dengan batuk pilek tanpa gejala gangguan pada pernapasan bawah (tak ada tarikan dinding dada, tak ada nafas cepat) datang kepada dokter meminta obat lain setelah merasa anaknya tak kunjung sembuh dengan obat-obatan yang dibeli dari apotek/toko obat.

"Ada obat yang sudah diminum sebelumnya, bu?"

"Ada dok, sambil mengeluarkan sebungkus plastik berisi obat sirup penurun demam paracetamol dan obat sirup antibiotik amoxicillin."

Aku tersenyum sambil telah menyiapkan ultimatum untuk mengedukasi terkait penggunaan obat antibiotik kepada para orangtua pasien yang membeli antibiotik di apotik yang rasanya sudah seperti membeli kacang kuaci permen.

"Ibu, mendengar dari perjalanan keluhan anak, diikuti dengan pemeriksaan fisik khususnya pada paru-paru anak yang hasilnya normal, lalu yang juga tak kalah penting bisa ibu lihat bahwa tidak ada tarikan dinding dada pada anak, dan laju nafasnya normal untuk usianya, maka keluhan batuk pilek sekarang di anak ibu mengarah kepada yang disebut dengan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), artinya infeksi terbatas pada hidung sampai dengan tenggorokan, tidak sampai kepada paru-paru anak." Ujarku

"Penyebab utama ISPA pada anak adalah virus. Virus tidak memerlukan obat seperti antibiotik, karena antibiotik ditujukan untuk penyakit-penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Anak hanya perlu minum yang cukup, istirahat yang banyak, boleh meminum air hangat yang dicampur madu, intinya dengan kekebalan tubuh yang baik alias tubuh yang kuat maka anak mampu memerangi virus dalam tubuhnya ini." Jelasku kembali.

"Untuk antibiotiknya kita stop ya bu, Ini tidak ada indikasinya. Yang ada hanya merugikan anak ibu sendiri, karena nanti suatu hari saat anak ibu betul-betul membutuhkan antibiotik, antibiotiknya tidak mempan lagi untuk memerangi bakteri. Antibiotik harus dibeli atas resep dokter ya bu. Ini saya resepkan vitamin untuk meningkatkan kekebalan tubuh anak ya." Ucapku.

Ku akhiri edukasiku sambil menanyakan kembali pemahaman ibu pasien, apakah ia mampu mencerna edukasiku yang lumayan panjang. 

Bahasa kerennya sih aku sedang melakukan post-test singkat dengan harapan edukasi ini tak sia-sia dan pesannya benar-benar tersampaikan serta semoga mengendap di ingatan beliau dalam waktu yang lama.

Aku yakin permasalahan antibiotik yang dijual bebas ini tak hanya berlaku di daerah sekitarku, namun juga di seluruh Indonesia. 

Mungkin tak seluruh apotik/toko obat menjual bebas antibiotik, bisa jadi hanya beberapa dari sekian apotik/toko obat tersebut yang nekat menjual antibiotik tanpa resep dokter dan nekat melanggar regulasi yang telah dibuat oleh pemerintah. Tapi ini tetap saja penanda bahwa implementasi kebijakan penggunaan antibiotik di Indonesia masih sangat lemah.

Kejadian di atas membuatku yakin bahwa dunia sedang di bawah ancaman resistensi antibiotik yang disebabkan oleh penggunaan antibiotik yang tak rasional. Pemberian antibiotik merupakan pengobatan utama dalam penatalaksanaan penyakit infeksi karena bakteri. 

Adapun manfaat penggunaan antibiotik memang tidak perlu diragukan lagi, akan tetapi penggunaannya yang berlebihan akan diikuti dengan munculnya bakteri yang kebal akan antibiotik, sehingga tentu manfaat dari antibiotik akan berkurang sampai tidak ada sama sekali. 

Resistensi kuman terhadap antibiotik, terlebih lagi multi drug resistance merupakan masalah yang sulit diatasi dalam pengobatan pasien. Hal ini muncul sebagai akibat pemakaian antibiotik yang kurang tepat guna, atau kurang tepat dosis, atau macam, ataupun lama pemberian sehingga kuman berubah menjadi resisten.

Implementasi kebijakan penggunaan antibiotik memang memerlukan kolaborasi dari berbagai pihak, dari pembuat kebijakan hingga pelaksana di lapangan. 

Pertama, agar masyarakat dicerdaskan untuk selalu membeli antibiotik atas resep dokter, baik melalui edukasi saat bertemu dengan dokter face-to-face ataupun penyuluhan. 

Masyarakat perlu memahami bahwa dengan mengonsumsi antibiotik atas inisiatif sendiri hanya akan merugikan diri sendiri suatu hari nanti.

Kedua, agar dokter-dokter selalu memperbaharui ilmunya agar mampu memberikan antibiotik sesuai indikasi. Dikarenakan tak jarang masih banyak sekali praktik-praktik di lapangan di mana dokter dengan mudahnya meresepkan antibiotik padahal tak sesuai indikasi.

Ketiga, agar apoteker-apoteker harus bertanggung jawab untuk mampu menaati regulasi yang telah dibuat pemerintah untuk hanya menjual antibiotik dengan adanya resep dokter. 

Keempat, agar instansi seperti Puskesmas, Klinik, Rumah Sakit, mungkin kali ini khususnya Rumah Sakit yang telah diamanati Program Pengendalian Resistensi Antibiotik (PPRA) untuk memaksimalkan kegiatan audit pengendalian penggunaan antibiotik yang tak berdasar alias tak rasional.

Lalu, Komite Medik juga harus memaksimalkan pembuatan Standar Pelayanan Medis (SPM) di masing-masing instansi agar terjadi keseragaman lalu meminimalisir kesalahan yang dilakukan di lapangan.

Kelima, agar seluruh pembuat kurikulum pendidikan kedokteran dan pendidikan farmasi di seluruh Indonesia untuk memasukkan bahasan terkait resistensi antibiotik dan farmakoterapi, agar dokter-dokter dan apoteker-apoteker di masa depan memahami bahaya ancaman resistensi antibiotik jika tak kunjung tertangani.

Keenam, agar seluruh penyelenggara Continuing Medical Education (CME) selalu menjadikan pembahasan resistensi antibiotik menjadi salah satu bahasan penting untuk para dokter dan apoteker memperbaharui ilmunya melalui webinar/workshop/simposium.

Ketujuh, agar pemangku kebijakan terus memonitor implementasi kebijakan di lapangan dan melakukan perbaikan atas kebijakan jika diperlukan.

Sebagai penutup, kembali kepada judul "implementasi kebijakan penggunaan antibiotik di Indonesia yang lemah, salah siapa?", jawabannya adalah salah bersama karena semua pihak berkontribusi akan implementasi penggunaan antibiotik di Indonesia. 

Penulis berharap semua pihak harus bergerak cepat untuk bersinergi sebelum resistensi antibiotik semakin berkembang lebih lanjut dan tak terkendali. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun