Mohon tunggu...
Ari Sukmayadi
Ari Sukmayadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pelajar Forever

Aku baca. Aku pikir. Aku tulis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kenapa Harus Takut dengan Politik Identitas ?

4 November 2022   14:48 Diperbarui: 4 November 2022   14:55 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : aladokter.com

Beberapa tahun belakangan ini gencar sekali isu "memerangi" politik identitas. Momentum yang sering dijadikan contoh  adanya politik identitas yaitu Pemilu 2019 dan Pilkada DKI 2017.

Pada saat Pemilu 2019, entah yang mana yang dimaksudkan menggunakan politik identitas ?

Apakah saat pendukung Prabowo-Sandi melakukan sholat subuh berjamaah di GBK ?

Ataukah ketika Jokowi menggandeng Ma'ruf Amin yang Ketua MUI sebagai pasangan Cawapresnya ?

Demikian pula pada saat Pilkada 2017, yang mana yang dimaksudkan menggunakan politik identitas ?

Apakah saat pendukung Anies-Sandi mengancam tidak akan mensholatkan jenazah yang mendukung pasangan Ahok-Djarot ?

Ataukah saat Ahok mengutip  Ayat Quran, kitab suci agama yang bukan dipeluknya, dengan pilihan kalimat yang dianggap tidak "pas" oleh sebagian pemeluk Al Quran ?

Baru-baru ini, Mr. AA  alias Mr. Ade Armando (bukan Mr. Ampun Ampun), mengeluarkan pernyataan yang kembali kontroversial. Menurutnya, Pemilu 2024 akan ditentukan oleh para pemeluk Kristen. Apabila orang Kristen terpecah, maka Anies akan menang. Sebalikinya, jika orang Kristen bersatu, maka Anies akan kalah.

Setiap orang punya pendapat sendiri-sendiri tentang pernyataan Mr. AA. Tidak sedikit yang menilai justru Mr. AA-lah yang menggunakan politik identitas. Memerangi politik identitas dengan memberi contoh politik identitas itu sendiri. Mr. AA tentunya punya jawaban lanjutan yang tidak kalah kontorversial.

Politik identitas ini mulai ramai diperbincangan sejak kemunculan Ahok, yang kebetulan memiliki identitas" minoritas ganda di Indonesia, yaitu Keturunan China dan beragama Kristen.

Kalau mengikuti alur berpikir Mr. AA, seolah-olah ada ketakutan, apabila pesaing Ahok yang beragama Islam menggunakan politik identitas, maka Ahok tidak punya peluang untuk menang. Dengan asumsi semua pemilih Muslim tidak akan memilih Ahok. Faktanya pemilih Ahok cukup besar, tidak terbatas pada pemilih Keturunan China dan Kristen saja. Bahkan jika para pemeluk seluruh agama selain Islam, jumlahnya tidak seberapa jika dibandingkan suara yang diperoleh pasangan Ahok-Djarot.

Betapa sempit identitas itu jika seperti itu.

Jadi sebetulnya apa sih politik identitas itu ?

Menurut KBBI, identitas adalah ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang; jati diri.

Menurut Erikson dan Corsini, identitas adalah suatu perasaan tentang menjadi seseorang yang sama, perasaan tersebut melibatkan sensasi fisik dari tubuh, body image, tujuan, nilai-nilai, dan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang, suatu perasaan yang berhubungan dengan rasa keunikan dan kemandirian.

Menurut Stella Ting Toomey, identitas merupakan refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis dan proses sosialisasi.

Menurut Gardiner W. Harry dan Kosmitzki Corinne, identitas sebagai pendefinisian diri seseorang sebagai individu yang berbeda dalam perilaku, keyakinan dan sikap.

Jadi secara umum, identitas adalah jati diri seseorang  atau seuatu kelompok yang membedakannya dengan orang/kelompok lain. Kalau menggunakan terminology sejak Sekolah Dasar, kita mengenal istilah SARA. Identitas kita dibedakan oleh Suku, Agama, Ras dan Antar Antargolongan.

Jika kita ingin memilih seorang pemimpin atau partai politik, identitas yang akan kita pilih itu justru yang harus kita ketahui terlebih dahulu.

Di Indonesia, dengan sistem banyak partai politik, identitas masing-masing politik itu nyaris tidak jelas. Apa yang membedakan satu partai dengan partai lainnya. Tidak heran di Indonesia, tokoh partai politik yang menjadi salah satu faktor kunci keterpilihan.

Tidak seperti di Amerika, identitas antara Partai Republik dan Partai Demokrat sangat jelas. Mereka memiliki perbedaan identitas, mulai dari kebijakan dalam negeri hingga kebijakan luar negeri.

Isu larangan politik identitas ini juga tampak absurd, karena di sisi lain, kita juga mengkampanyekan "menjaga kebhinekaan". Katanya ingin memerangi orang-orang yang akan menghilangkan kebhinekaan. Padahal kebhinekaan itu bukan terbatas pada pakaian adat yang berbeda-beda. Kita jarang ribut karena perbedaan pakaian. Yang sering ribut, bahkan berujung perang, karena kita berbeda dalam pemikiran.

Ada yang menarik dari diskusi antara Bapak dan Anak, antara Emha Ainun Nadjib dan Sabrang, atau yang biasa disampaikan dalam "kuliah" Maiyah. Bahwa kita sering tidak bisa membedakan antara Identitas dan Personalitas. Bahwa Personalitas lebih bersifat "given" atau bawaan, atau apa yang diberikan oleh Tuhan sejak kita lahir, seperti warna kulit, bentuk rambut,warna mata, bentuk hidung, dan sejenisnya.

Sedangkan identitas adalah sesuatu yang melibatkan "pilihan diri" berdasarkan "kedaulatan" masing-masing  individu.

Kalau yang dimaksud politik identitas itu adalah sesederhana personalitas yang sifatnya given, maka politik identitas itu begitu rendah.

Tapi kalau politik identitas itu politik yang didasarkan pada suatu pilihan dan kedaulatan  dalam memilih, lantas apa salahnya dengan politik identitas ?

Mau memilih liberalisme atau sosialisme ?

Mau memilih NU atau Muhammadiyah ?

Mau memilih Presiden yang muslim atau non muslim ?

Karena agama itu adalah pilihan.

Tidak ada paksaan dalam agama.

Apa salahnya ketika seseorang memilih pemimpin dilandaskan pada nilai-nilai yang diajarkan oleh agama yang dianutnya ?

Kenapa harus takut ?

Toh, walau agamanya satu, alirannya pun bisa berbeda-beda.

Alirannya sama, subalirannya pun nanti bisa jadi berkembang berbeda-beda.

Organisasi agamanya juga bisa berbeda-beda.

Yang terpenting, manusia yang berhak memilik, dijamin kedaulatan untuk memilih sesuai dengan pilihannya sendiri.

Partai atau pemimpin yang akan dipilih, justru harus punya identitas yang lebih jelas, untuk memudahkan calon pemilih menentukan pilihannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun