Isu larangan politik identitas ini juga tampak absurd, karena di sisi lain, kita juga mengkampanyekan "menjaga kebhinekaan". Katanya ingin memerangi orang-orang yang akan menghilangkan kebhinekaan. Padahal kebhinekaan itu bukan terbatas pada pakaian adat yang berbeda-beda. Kita jarang ribut karena perbedaan pakaian. Yang sering ribut, bahkan berujung perang, karena kita berbeda dalam pemikiran.
Ada yang menarik dari diskusi antara Bapak dan Anak, antara Emha Ainun Nadjib dan Sabrang, atau yang biasa disampaikan dalam "kuliah" Maiyah. Bahwa kita sering tidak bisa membedakan antara Identitas dan Personalitas. Bahwa Personalitas lebih bersifat "given" atau bawaan, atau apa yang diberikan oleh Tuhan sejak kita lahir, seperti warna kulit, bentuk rambut,warna mata, bentuk hidung, dan sejenisnya.
Sedangkan identitas adalah sesuatu yang melibatkan "pilihan diri" berdasarkan "kedaulatan" masing-masing  individu.
Kalau yang dimaksud politik identitas itu adalah sesederhana personalitas yang sifatnya given, maka politik identitas itu begitu rendah.
Tapi kalau politik identitas itu politik yang didasarkan pada suatu pilihan dan kedaulatan  dalam memilih, lantas apa salahnya dengan politik identitas ?
Mau memilih liberalisme atau sosialisme ?
Mau memilih NU atau Muhammadiyah ?
Mau memilih Presiden yang muslim atau non muslim ?
Karena agama itu adalah pilihan.
Tidak ada paksaan dalam agama.
Apa salahnya ketika seseorang memilih pemimpin dilandaskan pada nilai-nilai yang diajarkan oleh agama yang dianutnya ?