Kim Jong Il, diktator Korea Utara itu, wafat minggu lalu, 17 Desember 2011. Usianya 69 tahun ketika ia meninggal. Ia menggantikan kedudukan ayahnya, Kim Il Sung, sebagai pemimpin besar Korea Utara pada 1994. Kim Il Sung adalah teman Bung Karno.
Kim Jong Il (16 Februari 1941 – 17 Desember 2011)
Di Jepang, barangkali tak ada satu orang pun yang mengenal dekat Kim Jong Il kecuali Kenji Fujimoto (64 tahun). ‚Kenji Fujimoto‘ (bukan nama sebenarnya) adalah bekas koki pribadi mendiang diktator Korea Utara itu.
Keahlian Fujimoto adalah membuat sushi (nasi bercuka yang dibubuhi irisan ikan, telur ikan atau sayuran). Namun, setelah bukunya yang bertajuk Koki Kim Jong Il (Fuso Publishing, Inc.) diterbitkan pada 2004, satu stasiun TV Jepang memberinya julukan: “Ahli Kim Jong Il”.
Fujimoto awalnya bekerja di sebuah restoran sushi di Pyongyang pada 1982. Kedatangan Fujimoto berdasarkan undangan kantor perdagangan bilateral Jepang – Korea Utara.
Dalam satu acara kenegaraan, ia pernah melayani Kim Jong Il. Ketika itu, Kim nampak terkesan dengan sushi buatannya. Karena itu, Kim memintanya untuk menjadi koki pribadi pada 1988. Kim memberinya gaji Rp 60.5 juta per bulan. Konon, ia juga diberi dua mobil Mercedes oleh Kim.
Fujimoto mengenang Kim sebagai orang yang suka makanan unik berkualitas tinggi. Untuk keperluan itu, Kim sering meminta Fujimoto terbang ke negara lain untuk berbelanja.
Untuk membeli ikan tuna dan sotong, misalnya, Fujimoto diminta pergi ke pasar Tsukiji di Jepang. Untuk membeli buah, ia terbang ke Urumqi, China. Untuk membeli durian dan pepaya, ia terbang ke Thailand atau Malaysia. Untuk membeli bir, ia terbang ke Chekoslowakia. Untuk membeli daging babi, ia terbang ke Denmark. Untuk membeli kaviar, ia terbang ke Iran atau Uzbekistan.
Padahal, saat yang bersamaan, banyak warga Korea Utara yang kelaparan karena bencana banjir, embargo ekonomi dan kediktatoran Kim.
Sampai pada suatu hari di bulan Maret 2001, Fujimoto mengajak Kim melihat acara TV Jepang berjudul “Makanan Manakah Ini?”.
Kim menyukai landak laut (sea urchin) yang termasyhur di Jepang. Dan, ketika ia melihat landak laut di acara itu, ia berteriak: “Wah, itu kelihatan lezat!”
Fujimoto dengan cepat menanggapi: “Saya akan segera pergi ke Pulau Rishiri, Hokkaido, untuk membelinya. Saya juga akan belajar cara memasaknya.”
Kim membalas: “Ide cemerlang. Pergilah!”
Itulah hari terakhir Fujimoto melihat Kim.
Sesampainya di Hokkaido, Fujimoto melarikan diri dari pengawalan dan mencari tempat persembuyian. Fujimoto tak pernah kembali ke Korea Utara sampai detik ini.
Kenji Fujimoto dan buku tentang Kim Jong Un
Pengalaman Fujimoto, meskipun menarik, agaknya berbeda dengan pengalaman Shin Dong-hyuk (29 tahun), pemuda Korea Utara yang lahir di kamp konsentrasi. Shin lahir dari pasangan penghuni kamp Kaechon, atau biasa disebut Kwan-Li-So No. 14. Kamp ini berada di Pyongan, 90 kilometer selatan Pyongyang.
Meskipun tinggal di kamp konsentrasi, Shin sama sekali tak mengenal siapa itu Kim Jong Il! Di dalam kamp, tidak ada seorangpun yang membicarakan Kim Jong Il. Hukumannya berat jika ketahuan menggunjingkan Kim.
Baru-baru ini, Shin jadi terkenal karena satu hal: Ia satu-satunya orang yang berhasil melarikan diri dari kamp konsentrasi.
Dalam sebuah wawancara, Shin bercerita bahwa penghuni kamp dipaksa bekerja di pabrik dan konstruksi bangunan dari pukul 5 pagi hingga 11 malam. Penghuni kamp juga wajib memakai baju seragam.
Agar penghuni kamp tidak lari, tentara Korea Utara memasang pagar listrik di sekeliling kamp.
Sehari-harinya, penghuni kamp yang jumlahnya antara 150 ribu hingga 200 ribu orang itu hanya diberi makan butiran jagung dan kuah asin.
Jika penghuni kamp bekerja dengan baik maka lelaki dan perempuan di antara mereka diperbolehkan menikah. Namun, pasangan yang sudah menikah hanya boleh bertemu dua hingga tiga kali dalam satu tahun.
Korea Utara membangun dua jenis kamp konsentrasi:
- Zona Revolusi untuk mereka yang melakukan kesalahan ringan
- Zona Kendali Penuh untuk mereka yang melakukan dengan kesalahan berat
Penghuni Zona Revolusi “hanya” ditahan beberapa tahun saja, kemudian mereka dibebaskan. Sedangkan di dalam Zona Kendali Penuh, orang dihukum seumur hidup.
Shin dan keluarganya adalah penghuni Zona Kendali Penuh.
Kesalahan berat bagi tentara Korea Utara biasanya berupa kesalahan remeh bagi rakyat biasa. Misalnya, lupa memakai lencana bergambar Kim Il Sung atau Kim Jong Il; duduk di atas koran yang kebetulan ada gambar Kim Jong Il; melipat koran yang ada gambar Kim Jong Il.
Jika seseorang melakukan kesalahan tidak hanya dia saja yang masuk kamp konsentrasi. Seluruh keluarganya, termasuk orang tua, adik, kakak, anak dan cucu, otomatis masuk kamp konsentrasi.
Di dalam kamp pula lah, Shin menyaksikan ibu dan kakak lelakinya disiksa dan dihukum mati. Alasannya, mereka mencoba melarikan diri. Setelah keduanya meninggal, Shin juga disiksa. Tangan dan kaki Shin diikat, perutnya ditusuk dan dikaitkan dengan besi dan punggungnya dipanggang bara api yang panas.
Karena benar-benar tidak tahan, ia dan kawannya, bernama Park, merencanakan pelarian dari dari kamp. Malangnya, Park tewas tersengat pagar listrik. Hanya Shin sendiri yang akhirnya berhasil lolos masuk perbatasan China.
Saat ini, Shin hidup dalam perlindungan Korea Selatan.
Namun, pertanyaan tersisa hari ini: bagaimana nasib ratusan ribu penghuni kamp lainnya?
Lebih penting lagi, bagaimana masa depan Korea Utara?
Sebelum meninggal, Kim Jong Il menyiapkan Kim Jong Un (27 tahun) menjadi penerusnya.
Ia adalah anak bungsu Kim Jong Il dari selir yang bernama Ko Young Hee. Ko Young Hee lahir dan besar di Osaka, Jepang, sampai usia 7 tahun. Setelahnya, Ko kembali ke Korea Utara mengikuti orangtuanya.
Tahun lalu, Kim Jong Il mengukuhkan Kim Jong Un sebagai Daejang (Jenderal). Ini suatu cara untuk mempersiapkan kepemimpinan di bawah anaknya sendiri.
Riwayat Kim Jong Un sebenarnya penuh misteri, bahkan bagi rakyatnya sendiri.
Meskipun demikian, ada satu orang asing yang mengenal Kim Jong Un dengan baik, iaitu João Micaelo. João adalah sahabat selama Kim Jong Un bersekolah di Liebefeld, Bern, Switzerland, antara 1998 sampai 2001. Kim Jong Un waktu itu memakai nama samaran Pak Un.
João mengatakan bahwa Kim Jong Un menggemari olahraga basket, menonton film, bermain komputer dan Playstation. Kim Jong Un juga lancar berbahasa Jerman.
Namun demikian, sulit memprediksi apakah ‘sedikit’ pendidikan Barat yang dialami Kim akan mengubah pandangannya tentang dunia luar.
Yang jelas, untuk beberapa waktu ke depan, Kim Jong Un akan memimpin Korea Utara dengan bimbingan “pembisik” bernama Chang Song Taek, pamannya sendiri. Masa depan Korea Utara ada di tangan keduanya.
Tapi yang pasti, seluruh dunia berharap ia tidak melanjutkan kediktatoran ayahnya. Korea Utara mungkin salah satu negara yang masih mempunyai kamp konsentrasi a la Hitler di jaman modern ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI