Ketika musim kampanye, calon anggota legislatif berlomba-lomba memasang iklan, bahwa mereka adalah sosok yang akan mensejahterakan daerahnya, yang akan membawa suara - suara rakyat, seolah - olah mereka akan bekerja untuk rakyat.
Namun yang terjadi setelahnya, partai - partai politik tersebut hanya memanfaatkan jatah kursi yang didapatkannya untuk mencari "teman" alias koalisi.
Mereka seolah berkata, "Nih, saya punya sekian kursi, siapa yang mau?".
Kemudian partai yang memiliki mayoritas kursi mulai mendekati partai - partai lain itu, agar jatah suara mereka dapat menjadi mayoritas sebagai anggota legislatif.
Entah ada deal - deal tertentu atau tidak dibalik semua itu, saya tidak mau membahas hal tersebut.
Kenyataan yang terjadi adalah, karena syarat untuk membuahkan hasil dalam sidang atau rapat di tingkat legislatif, adalah yang menjadi kesepakatan bersama, atau jika sudah tidak ketemu kata sepakat, maka diputuskan dengan voting.
Tentunya semakin banyak teman koalisi, semakin besar kemungkinan suara mereka apakah setuju atau tidak, menjadi keputusan dalam sidang tersebut.
Yang perlu kita pikirkan ialah, apa benar ini yang disebut demokrasi? Lantas dimana letak demokrasinya jika yang disuarakan bukanlah suara rakyat?
Saya tekankan, ini bukan soal koalisi A atau koalisi B, yang selalu menjadi perdebatan akhir - akhir ini.
Tentu masing - masing pihak akan mengklaim bahwa mereka membawa suara rakyat.
Masalahnya adalah benarkah mereka membawa suara rakyat ketika sudah duduk di kursi legislatif?