Setelah takjub menyelam dalam genangan. Kini kulihat sekeliling, tempat ini bukan taman kota aku berteduh tadi. Ini kantor tempat aku bekerja, dan ini ruangan seorang wanita yang aku kenal, dan kudengar suara itu, suara hati yang terucap dengan perih. Pikiranku berkecamuk, sedangkan dalam dada ini ada gemuruh yang mengamuk.
Aku melangkah menuju sekat-sekat yang memisahkan pegawai satu dengan lainnya. Di sana Clara dan Icha tengah mengobrol berdua.
"Gimana hubungan kamu sama Ardi, Cha?"
"Masih temen, gak lebih, Clara."
"Kenapa gak nyoba jujur duluan? Waktu akan terus berjalan, jangan sampe, nanti kamu nyesel di akhir. Namun, Ardi emang kelihatan masih cuek soal wanita, apa lagi cinta."
"Dia memang masih polos. Biarlah, mungkin suatu hari nanti, Tuhan akan kirimkan hujan yang dapat membangunkannya, hingga dia sadar, aku sangat mencintainya."
"Semoga harapan kamu bisa cepet-cepet kejadian. Soal perjodohan yang direncanain orang tuamu, itu gimana? Apa waktunya masih lama?"
"Tinggal satu bulan lagi, tanggal 20, bulan depan perjodohannya. Seandainya Ardi masih seperti ini, aku harus siap nerima semuanya. Mungkin ini sudah takdir."
"Yang sabar, ya, Cha. Aku mau pulang, mau bareng?"
"Duluan aja, nanti aku nyusul."
Clara tak mengucap sepatah kata pun, hanya lambaian tangannya di depan pintu sebagai jawaban.