Mohon tunggu...
argani sukoco
argani sukoco Mohon Tunggu... Penulis - Selalu belajar aksara.

Mari ngobrol di https://twitter.com/Ganis___

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Arogansi, Corona, dan Pemerintah dalam Sebuah Lembar Cerita

31 Maret 2020   11:58 Diperbarui: 31 Maret 2020   13:30 5365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang wanita lansia menunggu kepulangan anaknya yang merantau di Ibukota. Warga desa selalu memanggilnya dengan nama Bu Indri. Usia sudah mencapai 64 tahun, rambut bagian depannya sudah mulai beruban, rambut ikal tapi masih lebat. 

Hidup bersama anak nomor duanya. Seorang wanita berkacamata, berambut panjang, dan sedikit bicara. Keseharian anak nomor dua selalu bekerja freelance membuat artikel untuk perusahaan-perusahaan luar negeri. 

Ditinggal suami sejak 8 tahun yang lalu. Meninggalkan tangisan, serta warisan yang tak banyak memaksa si sulung harus merantau di Ibukota.

Senyum selalu terpancar setiap paginya di teras rumahnya. Duduk santai di atas dipan bambu yang sudah rada peyot. Memakan kacang dan menyesap teh hangat. Setiap pagi ditemani radio yang selalu memberi kabar mengenai Ibukota. 

Sebut saja Corona, virus yang sedang membuah panik, khawatir, marah seluruh masyarakat dunia. Namun Bu Indri tak pernah takut akan virus. Virus tak akan sampai masuk desa, begitu yang ada di pikiran orang-orang minim informasi saat ini.

Suatu pagi pesan datang dari si sulung melalui aplikasi whatsapp. "Buk, Jakarta Lagi nggak aman, Amar pulang ya? Bantu-bantu di desa dulu."

Sang ibu tersenyum bahagia. Kegirangan melanda dirinya. Sang ibu meminta si anak kedua untuk membeli kebutuhan pangan menyambut kehadiran si sulung beberapa hari lagi. Seluruh bagian potongan ayam dibeli, kebutuhan karbohidrat, dan juga camilan kesukaan si sulung untuk menemani hari-harinya pun dibeli.

Jakarta menemukan jalan buntu untuk menahan alur pemudik dadakan. Tak ada koordinasi antara daerah dan pusat. Pusat memilih untuk menyelamatkan ekonomi. Indonesia semakin zona merah. 

Mungkin jika bukan Jakarta sebagai pusat penyebaran, lockdown  sudah diberlakukan sejak pasien positif hanya satu orang. Kontrak politik terlalu mahal untuk membayar biaya lockdown. Berbagai kepentingan tahun ini sudah harus direalisasikan tak pandang rakyat.

4 hari sejak pesan whatsapp datang. Amar pulang menaiki kereta yang melaju cepat. Tak sampai 7 jam dia sudah tiba di sebuah desa dekat pesisir pantai. Matanya memandangi sinar matahari yang menyingsing tinggi. Setelah itu dia menaiki ojek sampai tepat di depan rumah. Ibunya sudah menunggunya dengan senyuman lebar. Pelukan tak terhindarkan di momen kebahagiaan ini. Si anak kedua tak lupa mencium tangan kakaknya tercinta. Oleh-oleh dari Jakarta diberikannya. Tak luput para tetangga juga diberi oleh-oleh khas Ibukota. Hari pertama penuh kebahagiaan dilalui dengan makan besar oleh keluarga kecil.

Keesokan harinya Amar bergabung dengan warga desa yang sedang bekerja. Amar seperti biasanya masyarakat desa. Gotong royong dan berinteraksi adalah kekuatan masyarakat desa yang kekal. Berbagi cerita bekerja di Ibukota sembari mencangkul lahan sayuran. Tawa bahagia akan kedatangan Amar. Orang yang mereka rindukan akhirnya kembali dengan cerita yang menggairahkan hidup warga desa.

"Corona itu, gimana di Jakarta? Kamu jangan-jangan kena!" canda seorang teman diikuti dengan tawa warga desa yang mendengar.

"Ngeri bro! Aku aman lah, buktinya tak terjadi apa-apa!" ucap Amar diikut tawa candanya.

Malam dilewati seperti biasa. Makan malam penuh dengan lemak serta protein dihidangkan oleh Bu Indri. Wajah Bu Indri menyeringai melihat anaknya yang pulang. Kerinduan melihat si sulung mengingatkannya pada sifat temurun dari mendiang suaminya. 

Si anak kedua yang biasanya hanya diam sekarang lebih aktif bicara, saling ejek dengan kakaknya. Ibunya membiarkan mereka saling bertengkar. Suasana rumah ini menjadi ramai, keheningan malam di desa rasanya tak lagi menakutkan.

3 hari sejak kepulangan Amar. Ada yang aneh dengan kondisi ibunya. Tiba-tiba saja batuk-batuk dan demam tinggi. Tak ada alat tes suhu badan. Amar hanya menggunakan tangannya sebagai termometer. 

Diberikannya obat pereda masuk angin. Malam itu juga, demam ibunya sudah mulai agak membaik. Amar bisa bernafas lega kali ini. Dia sedikit teringat dengan gejala corona yang terjadi di Ibukota karena cerita teman kerjanya. Namun dia berpikir positif. "Tak mungkin corona datang kesini," gumam Amar dalam hati.

Keesokan paginya Amar terbangun. Bukan karena alarm paginya. Melainkan suara batuk ibunya yang semakin kencang. Si anak kedua juga terbangun dengan wajah khawatir. 

Amar membuat teh hangat agar batuk mereda, diberikannya sekali lagi obat pereda masuk angin. Ibunya bisa tidur dengan tenang di pagi hari. Amar dan adiknya melanjutkan aktivitas pagi mereka, pagi-pagi sekali.

Matahari terik sudah melewati atas kepala warga desa. Amar yang sedang berada di pantai berkumpul dengan warga penjual mie instan menceritakan bahwa ibunya yang sedang sakit. "Jangan-jangan corona mas," guyon si penjual yang sedang mencampur mie instan dengan bumbu.

"Ah, mbahmu." Disambut tawa orang-orang yang sedang berada di warung. Namun dalam hati Amar tak memungkiri bahwa dirinya saat ini khawatir bukan main.

Adzan ashar berkumandang. Suaranya tak jelas karena gelombang ombak yang menghantam pasir dan karang. Terdengar suara seseorang dari kejauhan memanggil Amar yang sedang menyesap kopi. Ternyata si anak kedua berlari, sampai di warung nafasnya masih tersengal-sengal.

"Kenapa dek?" tanya Amar heran.

"Ibu mas, ibu.."

"Ibu kenapa?"

"Sakitnya tambah parah."

Amar dan adiknya langsung berlari, menitip hutang pada pemilik warung. Setibanya di rumah, sang ibu terbatuk-batuk. Suhu badannya sangat panas. Amar berinisiatif untuk membawa ibunya ke bidan. 

Di desa kebanyakan hanya bidan yang tersedia untuk mengecek kesehatan, tak seperti kota lain. Dengan kendaraan motor, Amar meminta ibunya untuk berpegangan erat. 

Hembusan angin sangat terasa. Ibunya sampai berlindung di balik badan anaknya yang cukup kekar. Matahari tak mampu melawan rasa kedinginan yang dialami Bu Indri.

Setibanya di rumah sang bidan. Amar terkejut bukan main ketika melihat beberapa tetangganya yang kemarin terlihat sehat-sehat saja, sekarang berada di tempat yang sama seakan sedang janjian. 

Mereka semua batuk disertai rasa panas di seluruh badan. Sang bidan dan asistennya kewalahan, tanpa perlengkapan lengkap, mereka ketakutan menduga bahwa para warga terkena corona. 

Akhirnya sang bidan menghubungi pihak Dinas Kesehatan dan rumah sakit terdekat. Amar tak bisa menyembunyikan rasa kecewa dan sedihnya. Ketakutannya seakan terjadi. Pikirannya sudah tak bisa positif saat ini.

Mobil ambulan telah tiba. Perawat dengan APD lengkap turun dari mobil. Wajah para warga terlihat keheranan. Perawat hanya melakukan pemeriksaan standar. Kemudian meminta para warga untuk pergi ke rumah sakit yang ditentukan. Amar hanya mengangguk-ngangguk meskipun dia tahu rumah sakit yang dituju berada sangat jauh. 

Membutuhkan waktu sekitar 45 menit bagi Amar untuk sampai ke rumah sakit yang ditentukan. Di rumah sakit dia harus menunggu. Banyak warga yang menunggu pun terbatuk-batuk. Hanya disediakan tisu untuk menutup batuk mereka. 

Amar mencoba menghitung warga yang sedang menunggu, sekitar 8 warga terbatuk. Amar mencoba menenangkan ibunya, mengusap-usap leher bagian belakang. 

Hampir 2 jam tak ada tindak lanjut dari rumah sakit. Amar dengan hati yang jengkel pun menanyakan pada perawat administrasi. Hanya kata ditunggu saja dulu diucapkan oleh para perawat yang memakai masker dan sarung tangan.

Akhirnya pihak rumah sakit memanggil salah satu warga. Ibu Indri dan Amar lah yang masuk ke dalam ruangan. Di dalam sudah ditunggu perawat dengan APD mantel hujan, dan helm plastik seadanya. 

Si perawat terlihat gugup ketakutan, bertanya mengenai riwayat sang ibu. Mulai dari bertemu dengan siapa saja, pergi kemana saja, ataupun pernah ke luar negeri atau belum. 

Akhirnya setelah tahu bahwa anaknya adalah orang yang pulang dari Ibukota. Untuk mereka dilakukan swab test. Saat ini Bu Indri ditetapkan sebagai PDP, dan Amar sebagai ODP. 

Bagai disambar petir, ibunya yang baru saja melepas rindu dengan anaknya harus berpisah lagi karena menetap di sebuah ruangan isolasi. Tangis tak terhindarkan, namun ini demi kebaikan.

Beberapa hari berikutnya hasil tes diumumkan. Ibunya positif corona, begitu juga dengan Amar. Positif corona tanpa gejala. Bisa dibilang healthy carrier. Total warga yang positif corona di desa tersebut sekitar 4 orang, dan mungkin masih bisa bertambah lagi. 

Sekarang Amar hanya bisa merasa kecewa di kamar. Adiknya membawakan makanan yang ditinggalkan di depan pintu. Pihak rumah sakit hanya bisa berharap tak ada pertambahan pasien, mengingat perlengkapan dan ruang isolasi sangat terbatas. Perawat tentu tak ingin bunuh diri dalam sebuah pekerjaan.

Andaikan dia bisa mengulang waktu, dia tak akan kembali, dan hanya berdiam diri di Ibukota. 

Sayangnya andaikan hanya sebuah kata penyesalan. Tindakan di awal seharusnya dilakukan. Bukan karena tak berpikir, tapi menolak untuk merendahkan diri.

Tak sepenuhnya salah warga. Pemerintah tak pernah preventif, berusaha untuk represif. Masalah global hanya guyonan, sekarang rakyat tak bisa lagi tertawa riang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun