"Corona itu, gimana di Jakarta? Kamu jangan-jangan kena!" canda seorang teman diikuti dengan tawa warga desa yang mendengar.
"Ngeri bro! Aku aman lah, buktinya tak terjadi apa-apa!" ucap Amar diikut tawa candanya.
Malam dilewati seperti biasa. Makan malam penuh dengan lemak serta protein dihidangkan oleh Bu Indri. Wajah Bu Indri menyeringai melihat anaknya yang pulang. Kerinduan melihat si sulung mengingatkannya pada sifat temurun dari mendiang suaminya.Â
Si anak kedua yang biasanya hanya diam sekarang lebih aktif bicara, saling ejek dengan kakaknya. Ibunya membiarkan mereka saling bertengkar. Suasana rumah ini menjadi ramai, keheningan malam di desa rasanya tak lagi menakutkan.
3 hari sejak kepulangan Amar. Ada yang aneh dengan kondisi ibunya. Tiba-tiba saja batuk-batuk dan demam tinggi. Tak ada alat tes suhu badan. Amar hanya menggunakan tangannya sebagai termometer.Â
Diberikannya obat pereda masuk angin. Malam itu juga, demam ibunya sudah mulai agak membaik. Amar bisa bernafas lega kali ini. Dia sedikit teringat dengan gejala corona yang terjadi di Ibukota karena cerita teman kerjanya. Namun dia berpikir positif. "Tak mungkin corona datang kesini," gumam Amar dalam hati.
Keesokan paginya Amar terbangun. Bukan karena alarm paginya. Melainkan suara batuk ibunya yang semakin kencang. Si anak kedua juga terbangun dengan wajah khawatir.Â
Amar membuat teh hangat agar batuk mereda, diberikannya sekali lagi obat pereda masuk angin. Ibunya bisa tidur dengan tenang di pagi hari. Amar dan adiknya melanjutkan aktivitas pagi mereka, pagi-pagi sekali.
Matahari terik sudah melewati atas kepala warga desa. Amar yang sedang berada di pantai berkumpul dengan warga penjual mie instan menceritakan bahwa ibunya yang sedang sakit. "Jangan-jangan corona mas," guyon si penjual yang sedang mencampur mie instan dengan bumbu.
"Ah, mbahmu." Disambut tawa orang-orang yang sedang berada di warung. Namun dalam hati Amar tak memungkiri bahwa dirinya saat ini khawatir bukan main.
Adzan ashar berkumandang. Suaranya tak jelas karena gelombang ombak yang menghantam pasir dan karang. Terdengar suara seseorang dari kejauhan memanggil Amar yang sedang menyesap kopi. Ternyata si anak kedua berlari, sampai di warung nafasnya masih tersengal-sengal.