Membutuhkan waktu sekitar 45 menit bagi Amar untuk sampai ke rumah sakit yang ditentukan. Di rumah sakit dia harus menunggu. Banyak warga yang menunggu pun terbatuk-batuk. Hanya disediakan tisu untuk menutup batuk mereka.Â
Amar mencoba menghitung warga yang sedang menunggu, sekitar 8 warga terbatuk. Amar mencoba menenangkan ibunya, mengusap-usap leher bagian belakang.Â
Hampir 2 jam tak ada tindak lanjut dari rumah sakit. Amar dengan hati yang jengkel pun menanyakan pada perawat administrasi. Hanya kata ditunggu saja dulu diucapkan oleh para perawat yang memakai masker dan sarung tangan.
Akhirnya pihak rumah sakit memanggil salah satu warga. Ibu Indri dan Amar lah yang masuk ke dalam ruangan. Di dalam sudah ditunggu perawat dengan APD mantel hujan, dan helm plastik seadanya.Â
Si perawat terlihat gugup ketakutan, bertanya mengenai riwayat sang ibu. Mulai dari bertemu dengan siapa saja, pergi kemana saja, ataupun pernah ke luar negeri atau belum.Â
Akhirnya setelah tahu bahwa anaknya adalah orang yang pulang dari Ibukota. Untuk mereka dilakukan swab test. Saat ini Bu Indri ditetapkan sebagai PDP, dan Amar sebagai ODP.Â
Bagai disambar petir, ibunya yang baru saja melepas rindu dengan anaknya harus berpisah lagi karena menetap di sebuah ruangan isolasi. Tangis tak terhindarkan, namun ini demi kebaikan.
Beberapa hari berikutnya hasil tes diumumkan. Ibunya positif corona, begitu juga dengan Amar. Positif corona tanpa gejala. Bisa dibilang healthy carrier. Total warga yang positif corona di desa tersebut sekitar 4 orang, dan mungkin masih bisa bertambah lagi.Â
Sekarang Amar hanya bisa merasa kecewa di kamar. Adiknya membawakan makanan yang ditinggalkan di depan pintu. Pihak rumah sakit hanya bisa berharap tak ada pertambahan pasien, mengingat perlengkapan dan ruang isolasi sangat terbatas. Perawat tentu tak ingin bunuh diri dalam sebuah pekerjaan.
Andaikan dia bisa mengulang waktu, dia tak akan kembali, dan hanya berdiam diri di Ibukota.Â
Sayangnya andaikan hanya sebuah kata penyesalan. Tindakan di awal seharusnya dilakukan. Bukan karena tak berpikir, tapi menolak untuk merendahkan diri.