Mohon tunggu...
ARGA FAHREZA
ARGA FAHREZA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa tua

tertarik untuk traveling tetapi lebih sering berlayar di pulau kapuk

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suatu Malam di Rumah Makan Tepi Pantura

5 September 2024   17:55 Diperbarui: 5 September 2024   17:59 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
warisanbudayanusantara.com

Laki-laki paruh baya berperawakan sedikit gempal dan memakai kaus lusuh bermerek yang Ia beli tujuh tahun lampau itu, bertanya penjualan warung makan ke perempuan yang sedang menghitung sisa lauk yang terjual di etalase. Air mukanya terlihat muram, kulitnya sudah banyak keriput dengan uban yang malu-malu muncul di kumis dan janggutnya. 

Sinar terik matahari telah membuat garis wajahnya menua beberapa tahun dari usia sesungguhnya. Wajah yang sudah bersahabat dengan kerasnya jalanan Pantura itu sesekali mengawasi truk-truk besar pembawa barang berlalu-lalang. Kadang kala matanya menatap kosong ke suatu arah, barangkali melihat sisa keramaian pantura yang telah usai. 

Perempuan paruh baya dengan daster batik yang juga tak kalah usang saat dulu Ia beli di Pasar Klewer Solo sebelum terbakar dan direnovasi duduk di sebelah laki-laki yang juga merupakan suaminya. Raut wajahnya menunjukan rasa lelah, panasnya dapur selama bertahun-tahun telah membuatnya juga menua lebih cepat. 

Di jari dan lehernya masih tertaut emas yang kilapnya sudah memudar, mungkin perlu disepuh untuk ketiga kalinya karena emas tersebut adalah mahar perkawinan yang diterimanya puluhan tahun silam. Mereka adalah tetangga berbeda desa dan bertemu saat masih dibangku sekolah, keduanya merasa jatuh cinta lantas memutuskan menikah dua tahun setelah lulus SLTP, mereka tidak pernah menamatkan pendidikan menengah. 

"Syukur hari ini lebih banyak yang terjual jadi hanya menyisakan sedikit saja, nanti disimpan lagi di kulkas dan semoga besok bisa laku terjual." Mawarti, nama perempuan tersebut, menjawab dengan lembut. Suaminya yang mendengar, tanpa menoleh, lantas mengangguk dan duduk di salah satu bangku panjang yang ada di depan etalasenya. 

Menjadi pedagang warung makan haruslah bersiap dengan makanan yang tidak laku terjual. Jika keseringan menjual makanan sisa kemarin lalu dihangatkan kembali tentu menjadi sesuatu yang kurang elok. Cita rasa dari makanan yang mereka akan berubah dan mengakibatkan pembeli atau pelanggan mereka memilih untuk mencari warung makan lain di sepanjang Jalur Pantura. 

Tirai tipis transparan di etalase itu disibak. Piring-piring dan wadah berisi tumisan sayur diturunkan dari duduknya berjam-jam. Suaminya yang bernama Adang dengan gesit membawa makanan jualannya ke dalam rumah untuk disimpan di lemari pendingin. Sayangnya, ikan dan dua tumisan sayur harus dibuang karena sudah dua hari dan bernasib kurang untung.  

Sementara itu, Mawarti dengan penuh teliti menghitung uang pendapatan warungnya pada hari ini, sambil berkalkulasi untuk membeli bahan yang dibutuhkan esok pagi. Barangkali menghitung tiap-tiap lembar rupiah dan kepingan uang perak adalah episode penuh helaan nafas di sepanjang hari. Kadangkala hasil yang didapat tidak mencukupi untuk mereka memutar bisnis. 

Lantas dengan berat hati harus merelakan tabungan kecilnya untuk dikorek demi menyambung hidup. Segera setelah menghitung seluruh pemasukan pada hari itu, Ia dengan hati-hati memasukkan uangnya ke dalam dompet tangan lusuh bermotif kembang yang dibelinya belasan tahun lalu.  

"tadi saya makan dengan telor dan tempe, sama minumnya es teh manis. Jadinya berapa bu?" 

"lima belas ribu mas" kata si ibu penjual sembari tersenyum ramah 

"ini ya bu uangnya" ucapku seraya memberikan sejumlah uang yang dimaksud. "warungnya bakal tutup jam berapa bu?" aku melontarkan pertanyaan basa-basi, sebab makanan yang sudah diangkut dari etalase jualan pastilah untuk menutup jualan di hari itu.  

"iya mas soalnya saya sama bapak udah gak kuat kalau jualan terlalu malam, takut kena angin duduk saya mah" kata si Ibu dengan nada yang terdengar ramah namun ada perasaan getir di dalamnya. 

Setelah mengucap salam, aku lantas menghampiri motor bebek jenis Revo warna hitam yang terparkir lesu di pinggir jalan. Maklum saja kendaraan pabrikan Jepang sudah kubawa berjalan ratusan kilometer melintasi jalanan Pantura. Ini adalah motor pemberian bapak untuk aku merantau.  

Motor ini aku nyalakan untuk kembali melibas jalanan berdebu pantura, meski sudah malam tetapi residunya masih terlampau banyak. Pantura pernah menjadi jalanan paling ramai di seantero Pulau jawa. Jika memasuki masa lebaran, lautan kendaraan akan memadati jalan yang melintasi sisi utara Jawa ini. Pada saat itu engkau akan menemui bermacam manusia dari tua hingga anak-anak bergelut di antara keangkuhan pengendara. Namun, mereka merayakannya dengan sukacita. Bagi mereka ini adalah berkah yang perlu disyukuri karena selama 3 minggu dalam setahun adalah limpahan rezeki yang tak terkira. 

Motor yang aku kendarai melaju cepat sembari akrobatik menyalip truk-truk pembawa kontainer. Pikiranku menerawang jalanan yang pernah aku lalui saat kecil meski terasa samar. Sebenarnya ini adalah kepulanganku yang kedua ke kota asalku yang berada di Timur Laut Jakarta. Sekaligus pengalaman pertamaku berkendara jauh. Sejujurnya aku tidak pernah memikirkan bakal seperti apa perjalanan ini. Tujuanku adalah berkunjung kembali ke kota asal sembari mendinginkan suasana riuh rendah di dalam diriku. Namun, percakapan suami istri tadi membuatku menyadari bahwa Pantura tak sama lagi. 

Tiba-tiba saja ponsel saku jaketku berdering. Dengan segara aku menepikan motor dan mengangkat telepon. Ada pesan masuk ke ponselku, di layar tertulis nama pengirimnya: Bapak. 

Pesan dari aplikasi pengirim pesan berwarna hijau itu lantas aku buka, sebuah kalimat terpampang di layar ponsel. 

"Mas, Ibu meninggal di UGD Rumah Sakit jam 22.13" 

Hatiku remuk membaca pesan singkat tersebut, segala macam perasaan bercampur aduk dan tumpah ruah bersama tetesan-tetesan air mata yang jatuh dari netraku yang memerah. Butuh waktu hingga aku mampu mengendalikan diri dan perasaanku. Kuputuskan untuk kembali berangkat meski pikiranku porak-poranda oleh duka. 

Aku lantas menyalakan kembali motor yang kutepikan di pinggir jalan, ternyata aku berhenti di depan bangunan restoran yang sudah tutup dan terbengkalai. Motor kembali ku lajukan, meninggalkan kepulan debu jalanan dan bangunan restoran dengan plang karatan bertuliskan RM. MAWARTI JAYA. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun