Mohon tunggu...
Argadius Miracle
Argadius Miracle Mohon Tunggu... Atlet - Pelajar SMA

Saya adalah seorang pelajar SMA yang baru merintis ke dalam dunia penulisan artikel. Saya tertarik dengan konten-konten Fashion serta Fenomena Sosial.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Kesenjangan Sosial Dilihat dari Fashion? Semakin Nyata atau Malah Semu?

8 Agustus 2022   12:02 Diperbarui: 8 Agustus 2022   12:17 1041
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persepsi sosial bisa menjadi pendorong bagi masyarakat kelas atas untuk membelanjakan serta menghambur-hamburkan uangnya demi beragam produk dari brand-brand ternama. Ironisnya, mereka sendiri pada dasarnya paham bahwa produk yang mereka beli bisa saja bernilai jauh lebih rendah daripada harga yang sudah ditetapkan. Dengan demikian, apakah masih “kualitas” yang mereka cari dengan mengeluarkan uang sebanyak itu? Logikanya sih tidak. 

Mengambil contoh, fashion brand ternama, Balenciaga baru-baru ini meluncurkan model sepatu yang memicu kritik online karena konsep estetika “rusak”-nya.  

Sepatu-sepatu ini menampilkan detail yang "hancur penuh" seperti robekan, lecet, dan apa yang tampak seperti kotoran. Koleksi ini tersedia dengan harga mulai dari $ 625 atau sekitar 9 juta rupiah, dan terus naik ke kisaran $ 1.850, yaitu sekitar 27 juta rupiah. 

Viralnya sepatu tersebut membuat  Balenciaga menuai banyak kritik brutal dari berbagai pihak. Terdapat pengguna Twitter yang mengatakan bahwa kampanye ini mengolok-olok masyarakat tunawisma. 

Walaupun bagi kalangan atas sepatu Balenciaga ini merupakan sebuah simbol estetika yang unik dan berbeda. Akan tetapi, bagi para masyarakat kelas bawah, “estetika” ini bukanlah suatu hal yang layak dibeli, melainkan simbol “kemiskinan”.  

Kemiskinan bukanlah hal yang layak untuk dijadikan tren, tetapi bagi sebagian orang terutama masyarakat kelas atas, hal itu tampaknya dapat dibuat modis.

Lantas hal apa yang sebenarnya mendasari fenomena tersebut? Mengapa Balenciaga memiliki keberanian untuk mengeluarkan model sepatu kontroversial itu?

Dalam struktur kelas sosial yang ada dalam masyarakat masa kini, orang-orang dengan pendapatan yang lebih rendah hidup dalam tekanan sosial yang besar. 

Maka yang terkesan  logis adalah ketika masyarakat kelas bawah berusaha untuk terlihat seperti masyarakat kelas atas, dalam usaha untuk menaikan derajat mereka, seperti halnya dengan cara berpakaian, cara berpikir, dan jumlah uang yang mereka keluarkan untuk membeli kebutuhan sesaat. 

Namun, Balenciaga seakan-akan memutar balikan status quo yang selama ini dikenal masyarakat dimana masyarakat kalangan atas dengan kebebasannya berusaha untuk meniru masyarakat tunawisma, dalam konteks ini, cara berbusana. Hal ini sedikit banyak menjelaskan mengapa Balenciaga menuai banyak pertanyaan dan kontroversi. 

Sebenarnya, fenomena ini dapat ditinjau dengan logika sederhana. Masyarakat kelas atas ingin menunjukan kedudukannya dalam kelas sosial melalui berbagai aspek, salah satunya melalui apa yang mereka kenakan. 

Tentunya, masyarakat kelas atas memiliki kecenderungan untuk menjadi berbeda dengan masyarakat kelas bawah. Lalu, bagaimana cara bagi masyarakat kelas atas untuk membedakan diri mereka dari kelas menengah kebawah? Singkatnya, dengan menjadi apa yang masyarakat kelas bawah hindari. 

Untuk dapat lebih mudah memahami pernyataan diatas, hal ini dapat ditinjau dari fenomena “sepatu rusak” Balenciaga itu sendiri. Balenciaga, sebuah brand yang dikenal masyarakat banyak sebagai ikon fashion kalangan atas. 

Berbagai desain produk yang mereka keluarkan seringkali menjadi kiblat bagi para brand-brand kecil untuk menyerupai mereka (Balenciaga), akan tetapi fenomena tersebut secara tidak langsung akan mengurangi tingkat eksklusivitas Balenciaga. 

Bagaimana tidak? dengan harga yang jauh lebih murah, brand-brand tersebut memiliki bentuk atau bahkan kualitas yang hampir serupa dengan Balenciaga, akibatnya masyarakat kelas bawah juga dapat “menjangkau” Balenciaga. 

Memahami pola tersebut, Balenciaga pun berusaha mencegahnya dengan menciptakan suatu produk yang tidak mungkin ditiru oleh brand-brand kecil dan hasilnya adalah sepatu rusak Balenciaga.

Fashion adalah cerminan masyarakat dimana keadaan mode saat ini tampaknya menyuarakan gejolak yang dihadapi dunia. Industri fashion bergerak cepat dan telah berulang kali menjadi pelaku perampasan budaya. 

Seringkali, subjek apropriasi adalah kemiskinan. Memang, dari pakaian hingga perumahan, “estetika rusak” yang memiliki ciri-ciri barang lama atau barang bekas, sudah ada dan hidup dalam dunia fashion sejak lama. 

Beberapa hal sengaja dibuat agar terlihat tua atau usang, tetapi yang menjadi masalah adalah ketika orang-orang yang berada dalam posisi istimewa atau kekayaan, secara aktif menampilkan diri mereka sebagai tunawisma murni untuk estetika. 

Mereka yang paling mampu untuk berpakaian dan hidup dalam keistimewaan secara sadar meniru mereka yang tidak memiliki kebebasan, membuat orang-orang itu terjebak dalam realita di mana kesengsaraan mereka dijadikan sebagai suatu kemewahan.

Koleksi sepatu Balenciaga ini pada akhirnya memvalidasi kontradiksi realita sosial, koeksistensi kemewahan, dan penderitaan manusia. Masyarakat kalangan atas harus menyadari bahwa tidak ada yang layak dirayakan tentang kemiskinan. Kondisi kehidupan seseorang seharusnya tidak menjadi tren terbaru. 

Fashion memang selalu disandingkan oleh kontroversi, namun, kondisi ideal yang bisa diharapkan adalah dalam prosesnya hal ini tidak mengeksploitasi mereka yang bahkan tidak sadar menjadi bagian dari debat yang lebih besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun