Persepsi sosial bisa menjadi pendorong bagi masyarakat kelas atas untuk membelanjakan serta menghambur-hamburkan uangnya demi beragam produk dari brand-brand ternama. Ironisnya, mereka sendiri pada dasarnya paham bahwa produk yang mereka beli bisa saja bernilai jauh lebih rendah daripada harga yang sudah ditetapkan. Dengan demikian, apakah masih “kualitas” yang mereka cari dengan mengeluarkan uang sebanyak itu? Logikanya sih tidak.
Mengambil contoh, fashion brand ternama, Balenciaga baru-baru ini meluncurkan model sepatu yang memicu kritik online karena konsep estetika “rusak”-nya.
Sepatu-sepatu ini menampilkan detail yang "hancur penuh" seperti robekan, lecet, dan apa yang tampak seperti kotoran. Koleksi ini tersedia dengan harga mulai dari $ 625 atau sekitar 9 juta rupiah, dan terus naik ke kisaran $ 1.850, yaitu sekitar 27 juta rupiah.
Viralnya sepatu tersebut membuat Balenciaga menuai banyak kritik brutal dari berbagai pihak. Terdapat pengguna Twitter yang mengatakan bahwa kampanye ini mengolok-olok masyarakat tunawisma.
Walaupun bagi kalangan atas sepatu Balenciaga ini merupakan sebuah simbol estetika yang unik dan berbeda. Akan tetapi, bagi para masyarakat kelas bawah, “estetika” ini bukanlah suatu hal yang layak dibeli, melainkan simbol “kemiskinan”.
Kemiskinan bukanlah hal yang layak untuk dijadikan tren, tetapi bagi sebagian orang terutama masyarakat kelas atas, hal itu tampaknya dapat dibuat modis.
Lantas hal apa yang sebenarnya mendasari fenomena tersebut? Mengapa Balenciaga memiliki keberanian untuk mengeluarkan model sepatu kontroversial itu?
Dalam struktur kelas sosial yang ada dalam masyarakat masa kini, orang-orang dengan pendapatan yang lebih rendah hidup dalam tekanan sosial yang besar.
Maka yang terkesan logis adalah ketika masyarakat kelas bawah berusaha untuk terlihat seperti masyarakat kelas atas, dalam usaha untuk menaikan derajat mereka, seperti halnya dengan cara berpakaian, cara berpikir, dan jumlah uang yang mereka keluarkan untuk membeli kebutuhan sesaat.
Namun, Balenciaga seakan-akan memutar balikan status quo yang selama ini dikenal masyarakat dimana masyarakat kalangan atas dengan kebebasannya berusaha untuk meniru masyarakat tunawisma, dalam konteks ini, cara berbusana. Hal ini sedikit banyak menjelaskan mengapa Balenciaga menuai banyak pertanyaan dan kontroversi.