Mohon tunggu...
Arfi Zon
Arfi Zon Mohon Tunggu... Penulis - PNS dan Penulis

Seorang Pegawai Negeri Sipil yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Atheis

26 Juli 2021   12:40 Diperbarui: 26 Juli 2021   13:10 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Aku tak percaya lagi Tuhan itu ada dan tidak yakin lagi dengan ajaran agama apapun," kata Arman dengan nada suara datar kepada dua orang teman kosnya. Kemudian wajahnya tampak serius, seperti menerawang. Sementara dari hidungnya mengepul asap rokok yang baru saja dia hisap dalam-dalam.

Dua orang temannya itu tak bereaksi. Hendra yang sedang asik dengan HP hanya sejenak sedikit mengalihkan pandangannya ke Arman, mengerutkan kening, kemudian kembali menekur, asik dengan gadget nya.

Sedangkan Heri, cuma tersenyum mendengar ocehan sahabatnya itu sambil terus mengutak-atik laptopnya. Matanya sama sekali tidak beralih dari layar laptop.

Dia pikir Arman pasti sedang bercanda. Bagaimana mungkin kata-kata Arman barusan itu serius. Selama ini Arman justru yang paling alim di antara mereka. Arman yang selalu mengajak mereka Shalat. Arman juga yang sering menyelipkan tema-tema agama dalam obrolan santai mereka menjelang tidur seperti saat ini. Sekarang, dia ngoceh bilang tidak percaya Tuhan dan agama, mustahil.

"Kenapa kalian diam? Aku serius, nih. Sini kalian," lanjut Arman sambil melambaikan tangan meminta Hendra dan Heri mendekat ke meja reot di hadapannya.

"Kalian lihat gelas berisi kopi ini. Kalau memang Tuhan itu ada dan Dia memang maha kuasa, bisa gak saat ini juga Dia menggeser gelas ini lima senti aja dari posisinya sekarang?" Arman diam sesaat, kemudian bergantian menatap Hendra dan Heri.

"Gimana? Gak bisa kan?" Sementara, aku bisa. Kalian lihat nih, gelas ini bisa aku pindah-pindah sekehendakku. Aku lebih berkuasa daripada Tuhan, kan?"

"Atau, bisa gak, Tuhan itu memperlihatkan kemahakuasaannya saat ini dengan mencegah aku untuk memindah-mindahkan gelas ini? Gak bisa juga, kan? Aku masih bisa aja nih, dengan bebas menggeser-geser gelas ini sesukaku. Kenapa Tuhan yang maha kuasa itu tidak sanggup mencegahku?"

"Hahaha, ya karena Tuhan maha kuasa itu, lah, Bro, makanya Dia tidak mau dan tidak mungkin kau perintah-perintah seperti itu, hahaha." Heri tertawa melihat polah Arman itu. Dia heran, kenapa segitu piciknya pikiran anak itu. Kemana ilmu agama yang selama ini sering dia ceramahkan ke dia dan Hendra.

"Ah, tidak begitu menurutku. Jika Dia memang ada, Tuhan itu harus bisa membuktikan kemahakuasaanNya itu dengan nyata, secara sederhana, kapan saja, dan kepada semua orang."

"Selama ini doktrin agama bilang, untuk membuktikan Tuhan itu ada, berpikirlah, lihatlah tanda-tanda kebesarannya. Lihatlah alam semesta beserta semua isinya yang menakjubkan. Perhatikanlah makhluk hidup ciptaannya. Itulah bukti-bukti kebesaran Tuhan. Itulah tanda bahwa Tuhan itu ada."

"Menurutku doktrin itu terlalu dipaksakan. Tidak semua manusia sama daya pikirnya. Tidak semua manusia mampu membuat analisis-analisis yang rumit terkait keberadaan Tuhan."

"Kenapa Tuhan tidak bikin saja cara membuktikan keberadaannya yang simpel dan tidak perlu diperdebatkan lagi? Misal, Tuhan bicara langsung dari langit sana. Sambil langit tersibak dan petir menyambar-nyambar, tiba-tiba terdengar suara Tuhan menggelegar di seluruh penjuru bumi, berkata, "wahai seluruh manusia, Akulah Tuhan kalian, Aku lah sang Maha Kuasa." Beres kan? Seluruh manusia di muka bumi pasti akan segera percaya Tuhan detik itu juga tanpa ada perdebatan apapun."

"Tidak adil dong, kalau untuk percaya Tuhan harus berpikir dan membuat analisa macam-macam? Padahal, Dia ciptakan manusia ada yang mampu berpikir dengan baik tentang hal yang rumit-rumit, ada yang tidak, yang hanya mampu mencerna hal-hal sederhana saja. Tidak adil dong, Tuhan? Karena hanya orang-orang pintar yang akan mampu meyakini keberadaan Tuhan."

"Terkait alam semesta itu sendiri, aku juga tidak percaya lagi semua diciptaan oleh Tuhan. Coba kalian pikir. Apa gunanya Tuhan menciptakan alam semesta ini?"

"Menurut ajaran agama, alam semesta ini diciptakan dan diurus oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Nah, sebelum Tuhan menciptakan alam semesta, Tuhan ngapain aja, ya?"

"Tidak ada yang diurus. Karena belum ada alam semesta. Belum ada malaikat, iblis, bumi, langit dan segala isinya. Dan, tentunya belum ada manusia. Semua belum diciptakan. Jadi, Tuhan ngapain aja? Nganggur?"

"Terus, karena bosan nganggur, Dia ciptakan alam semesta? Begitu?"

"Kemudian, nanti Dia hancurkan lagi alam semesta itu dengan kiamat? Lantas, setelah kiamat, setelah manusia diadili, yang berhak masuk surga sudah di surga, yang harus abadi di neraka sudah masuk neraka, terus Tuhan ngapain lagi? Nganggur lagi sampai selama-lamanya? Aneh, bukan?" Arman semakin berapi-api.

"Astaghfirullaah," kali ini Hendra dan Heri benar-benar terperangah dan hampir berbarengan 'ngucap' mendengar Arman terus nyerocos dengan pemikiran-pemikiran anehnya itu.

Mereka benar-benar kaget. Rupanya serius, teman mereka itu, entah sedang dirasuki setan apa, tiba-tiba mendelegitimasi keberadaan Sang Maha Pencipta dari alam pikirannya.

"Man, bukan begitu pastinya. Argumen-argumenmu yang meragukan Tuhan itu pasti ada penjelasannya. Cuma kita aja yang belum sampai ngajinya ke situ," Heri coba mematahkan Arman. Dia benar-benar gundah mendengar segala perkataan Arman barusan. Tiba-tiba dia merasa menyesal menjadi orang yang fakir ilmu agama. Sehingga sama sekali tidak bisa memberi bantahan atas argumen sahabatnya yang tengah terancam menjadi ateis itu.

"Betul, Man, kan ada ajaran agama yang bisa menjelaskan semua, ayo kita ngaji lagi. Kita cari ustad yang tepat yang bisa memberi penjelasan," Hendra coba menambahkan. Dia tak kalah khawatir. Tak terbayangkan olehnya bagaimana kelak jika Arman pulang kampung sudah dalam keadaan tidak percaya lagi pada Tuhan, tidak beragama. Pasti orang tuanya akan sangat terpukul dan malu pada orang sekampungnya yang terkenal sangat agamis. Bahkan, bisa-bisa dia akan diusir dari kampungnya itu.

Melihat reaksi Hendra dan Heri begitu, bukannya melunak, Arman malah makin bersemangat berceloteh.

"Ajaran agama? Aku kan sudah bilang, aku tidak percaya lagi dengan semua ajaran agama. Kalian ingat diskusi kita minggu lalu, kan?"

"Aku makin yakin dengan pendapat Karl Marx yang menyatakan bahwa agama itu hanya candu yang digunakan oleh kaum kapitalis untuk meninabobokkan kaum proletar agar pasrah dengan keadaannya."

"Pasrah saja kerja keras dengan upah rendah, pasrah saja dieksploitasi, patuh pada majikan, dan lain-lain. Dengan iming-iming bahwa kerja keras itu adalah ibadah. Biarlah hidup susah di dunia, asal kerja ikhlas kelak akan masuk surga. Dan kaum proletar mabuk dengan candu agama seperti itu. Sementara, kaum kapitalis semakin makmur."

"Barusan tadi kalian baca kan? Seorang menteri bilang, para guru honorer nikmati saja gaji kecil, tetaplah kerja ikhlas, kelak akan masuk surga. Nah, itulah agama. Hanya alat yang digunakan untuk meredam pemberontakan kaum proletar, kaum susah, hahaha," Arman tertawa seolah mengejek teman-temannya yang seperti tak memiliki argumen pembanding yang bernas.

Karl Marx? Hendra dan Heri tersadar. Ini rupanya pangkal masalahnya kenapa Arman begini.

Sejak beberapa minggu lalu Arman memang bercerita bahwa dia sedang mengambil mata kuliah tentang teori-teori sosial. Diantara teori yang dipelajari itu, termasuk teori tentang kelas sosial yang dipelopori oleh filusuf beraliran sosialis revolusioner, Karl Marx.

Rupanya Arman terpengaruh hebat oleh filsafat Marx. Kemudian dia membuat kesimpulan-kesimpulan prematur yang bermuara pada munculnya pemikiran tak percaya Tuhan dan agama. Kondisi ini diperparah oleh ilmu dan pemahaman agamanya selama ini yang hanya sebatas ritual. Pemahamannya tentang aqidah dan hakikat dalam beragama rupanya sangat dangkal.

Merasa percuma mendebat Arman saat itu, karena mereka memang tidak punya modal apa-apa, Hendra dan Heri meninggalkan Arman sendirian, beranjak ke kamar mereka masing-masing. Sementara, Arman tersenyum puas melihat teman-temannya seolah menyerah kalah.

Dalam benak Hendra dan Heri terbersit pemikiran yang sama, Arman harus segera diselamatkan dari ancaman menjadi ateis. Mereka sama-sama sulit tidur memikirkan caranya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun