Dalam kesendirian karena istri dan anak-anak tertidur, Â kucoba untuk tetap tenang. Aku turunkan sedikit kaca jendela. Kesiur angin dingin langsung terasa menyelusup ke kabin mobil. Aku kembali merinding dan cepat-cepat menutup rapat jendela.
Setelah melewati sebuah tikungan yang agak tajam, samar-samar aku melihat dua titik cahaya redup di kejauhan.
"Nah.. itu ada mobil di depan," gumamku sedikit lega.
Segera saja gas kuinjak lebih dalam. Aku bermaksud mengejar mobil itu. Jika sudah berdekatan aku akan ikuti saja mobil itu dari belakang. Biar menjadi teman seperjalanan. Ngeri rasanya jalan di tempat sepi begini malam-malam tanpa pernah melihat rumah penduduk dan tidak berpapasan dengan kendaraan lain sama sekali. Bagaimana kalau ada bajing loncat? Bagaimana kalau mobil tiba-tiba pecah ban atau mogok? Macam-macam kekhawatiranku saat itu. Tiba-tiba aku sangat menyesal, kenapa tadi tidak langsung menginap saja di Baturaja, sesuai rencana semula.
Akhirnya kami berhasil menyusul mobil itu. Rupanya sebuah truk tua. Kelihatannya tidak ada muatan dalam baknya. Aku ikuti terus dalam jarak sekitar empat atau lima meter.
Aku agak heran, kenapa truk ini berjalan pelan sekali? Padahal biasanya, jika tidak ada muatan, pengemudi truk akan sangat ngebut mengendarai truknya.
Tapi, sudahlah, aku tak peduli. Yang penting sekarang kami tidak sendiri lagi. Sudah ada teman seiring.
Sudah sekitar lima belas menit lamanya aku terus menempel truk tua itu, ketika aku dikagetkan oleh suara google map di handphone istri yang masih tertidur.
"Dua ratus meter lagi belok kanan."
Aneh, suara perempuan narator itu tiba-tiba terdengar berat dan menyeramkan di telinga. Bulu kudukku merinding.
Limapuluh meter menjelang belok kanan, jarak mobil kami dengan truk tua agak kurenggangkan menjadi sekitar 15 meter. Ketika truk itu telah berbelok ke kanan otomatis hilang dari pandanganku. Selang tiga detik kemudian, kami juga belok kanan.