Segera kuraba bokongku. Benar, amplop sudah tak ada. Jelas, orang ini copet. Aku hampir saja spontan meneriakinya copet, tapi segera sadar bahwa kejadian ini justru yang sedang kutunggu-tunggu sejak empat hari yang lalu. Umpan justru dimakan ikan setelah aku tak lagi berniat memancing.Â
Oleh karena itu, aku diam. Berpura-pura tidak sadar barusan dicopet. Hanya saja, aku agak heran. Katanya copet di sini hebat-hebat. Bisa mencopet dengan sangat halus tanpa disadari korbannya. Kenapa yang barusan mencopetku kasar? Sangat kentara tadi terasa dia menarik amplop dari saku celanaku.Â
"Ndak ada hebat-hebatnya, kok," batinku.Â
Orang itu terus merangsek maju. Sepertinya berusaha segera menjauh dariku dan mendekat ke pintu. Mungkin dia bermaksud secepatnya turun di stasiun terdekat, yaitu stasiun Cawang.Â
Aku juga ikut merangsek maju. Otak iseng mendorong rasa penasaranku. Aku ingin menyaksikan langsung bagaimana ekspresi kesal copet itu setelah melihat isi amplop ternyata uang mainan. Puas rasanya bisa ngerjain pencopet. Aku putuskan akan terus mengikutinya.Â
Supaya dia tidak merasa diikuti, topi dan jaket kubuka dan masukkan ke dalam tas. Dia tak lagi mengenaliku sebagai korbannya tadi.Â
Benar ternyata, copet itu buru-buru turun di stasiun Cawang. Setelah turun, dia celingak-celinguk sekeliling. Sepertinya ingin memastikan dia sudah aman. Padahal, aku mengawasinya dari posisi tak terlalu jauh. Tapi dia tidak sadar. Karena tadi aku memakai topi dan jaket biru. Sedangkan saat ini, aku tanpa topi dan memakai kemeja tipis warna putih.Â
Tak lama kemudian dia kembali berjalan gegas. Aku terus mengikuti dalam jarak sekitar enam langkah. Dia berhenti di depan swalayan Indoalfa yang cukup besar dan ramai. Sesaat sebelum masuk, dia merogoh saku, mengeluarkan amplop yang tadi dia copet, nengintip isinya sekilas, lalu kembali memasukkannya ke saku celana.Â
Sepintas dia terlihat tersenyum ketika mengintip isi amplop. Mungkin merasa senang karena isi amplop itu ternyata banyak. Aku memang mengisi amplop itu dengan tumpukan uang mainan berwarna biru. Sekilas terlihat seperti segepok pecahan lima puluh ribu rupiah.Â
Dia terus masuk ke swalayan, aku pun terus membuntuti. Aku yakin, pencopet tengik seperti ini pasti memakai uang hasil copet untuk foya-foya. Beli miras untuk mabuk misalnya. Dia mampir ke swalayan ini paling-paling mau memborong rokok, pikirku.Â
Namun, ternyata dugaanku salah. Dia mengambil keranjang belanjaan kemudian menuju rak susu dan makanan bayi. Aku yang terus mengikuti, terkejut ketika melihat dia mengambil dua kotak besar susu formula untuk bayi usia satu tahun. Lalu pindah ke rak makanan ringan. Di sana dia ambil beberapa bungkus biskuit, wafer, dan beberapa batang coklat.Â