Kenapa tinggi? Karena mereka memilih menjadi maskapai dengan standar pelayanan prima (premium service) yang konsekwensinya berbiaya tinggi. Mereka juga menjaga image sebagai maskapai yang selalu 'ontime', anti 'delay'.
Di sisi lain, mereka tidak bisa menjual tiket terlalu mahal karena akan ditinggal penumpang.
Jika terlalu mahal, penumpang mereka dipastikan beralih ke kompetitor, yaitu maskapai 'low cost' yang tiketnya murah. Meskipun ada risiko sering 'delay'.
Kompetitor bisa jual tiket murah karena mereka memang tidak berkonsep premium service sebagaimana Garuda.
Mereka juga 'cuek' saja jadwal flight sering 'delay' bahkan kadang bisa tiba-tiba batal.
Sang GM menguraikan perbandingan biaya operasional Garuda dengan maskapai-maskapai 'low cost' itu.
Garuda memilih beroperasi di terminal 3 Bandara Soetta. Biaya boarding penumpang untuk tiap penerbangan di sana enam juta rupiah. Sedangkan maskapai lain memilih di terminal 1 atau 2 yang biayanya cuma sepertiganya. Jauh lebih hemat.
Garuda selalu menggunakan garbarata (lorong untuk penumpang naik/turun pesawat). Untuk itu, tiap penerbangan membutuhkan biaya sewa garbarata1,5 juta ketika berangkat dan 1,5 juta di bandara tujuan.
Sementara, maskapai lain tidak menggunakan garbarata. Penumpang hanya menggunakan tangga untuk naik/turun pesawat. Juga harus jalan kaki dari/menuju terminal. Kadang kepanasan kadang kehujanan.
Lalu, Garuda menyediakan makan di kabin. Untuk satu orang penumpang biayanya 75 ribu. Sementara maskapai lain tidak menyediakan, walau sekedar air mineral kemasan gelas sekalipun.
Dan, terakhir, ini yang paling besar biayanya, Garuda menyediakan 5 pesawat 'standby' supaya tidak ada penerbangan delay.