Kunker tersebut bisa dikategorikan fraud, antara lain jika setelah melalui proses audit terbukti, bahwa terdapat bukti-bukti pengeluaran yang palsu, misalnya tiket pesawat atau bill tagihan hotel/penginapan palsu. Jika kondisi ini yang terjadi, jelas, bahwa yang bersangkutan tidak melaksanakan perjalanan dinas, dan untuk itu harus mengembalikan biaya perjalanan dinas yang telah diterimanya. Dan atas bukti-butki pengeluaran palsu, juga jelas, bisa dijerat pidana dengan menggunakan pasal mengenai pemalsuan. Kondisi serupa ini bisa juga terjadi pada perjalanan dinas rangkap pada waktu yang sama, yang mana salah satu dari perjalanan dinas tersebut menggunakan bukti-bukti pertanggungjawaban palsu.
Namun, bisa juga kunker DPR tersebut bukan fiktif, tapi cuma administrasi pertanggungjawabannya yang tidak lengkap. Misalnya, para anggota DPR tersebut setelah menyelesaikan kunker tidak membuat laporan perjalanan dinas. Jika kondisi ini yang terjadi, tentunya tidak perlu ada pengembalian biaya, karena secara materil perjalanan dinas telah dilaksanakan, dan yang bersangkutan cukup diwajibkan untuk segera membuat laporan hasil perjalanan dinas. Berdasarkan keterangan ketua BPK, Harry Azhar, berdasarkan sampel pemeriksaan yang dilakukan auditor-auditor BPK RI, memang ada indikasi kondisi seperti ini yang terjadi.
Dengan demikian, jika audit BPK RI selesai, bisa jadi hasilnya tidak sebumbastis yang telah telanjur “heboh” di media dan masyarakat. Bahkan bisa saja, semua hanya temuan kelemahan administrasi, yang berarti secara materil negara tidak dirugikan sama sekali, karena terbukti semua kunker tersebut memang dilaksanakan, bukan fiktif.
Namun, sebenarnya isu yang lebih menarik untuk dikritisi bukan hanya sekedar masalah apakah kunker tersebut fiktif atau tidak. Sebab, andaipun kunker tersebut ternyata tidak fiktif, tetap perlu dipertanyakan, apakah kunker tersebut telah efektif, efisien, dan ekonomis, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara? Juga perlu diingat, salah satu prinsip pelaksanaan perjalanan dinas adalah, harus selektif, yaitu hanya untuk kepentingan yang sangat tinggi dan prioritas yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan.
Jangan-jangan, kunker-kunker tersebut hanya sekedar untuk “menghabiskan” anggaran untuk mengejar realisasi/serapan. Tidak ada unsur untuk kepentingan yang sangat tinggi dan prioritas. Semoga audit BPK RI mencermati sampai kesana. Sebab, sudah waktunya logika penggunaan APBN berubah dari anggapan “jika realisasi penggunaan anggaran rendah berarti kinerja lemah, dan jika realisasi anggaran tinggi berarti kinerja bagus”. Padahal, realisasi rendah bisa saja karena pengguna anggaran efisien dalam mengelolaa anggarannya, bukan karena berkinerja lemah.
Jika anggapan seperti itu terus berlangsung, tentunya negara akan dirugikan, karena penggunaan anggaran tidak benar-benar tepat sasaran, yaitu berorientasi kepada sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di negara ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H