Mohon tunggu...
Arfi Zon
Arfi Zon Mohon Tunggu... Auditor - PNS

PNS yang hobi olahraga dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kunjungan Kerja Fiktif, Fraudkah?

29 Mei 2016   11:10 Diperbarui: 29 Mei 2016   12:25 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

“Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan dari hasil audit tahunan dan uji petik (sampling) di DPR, bahwa sejumlah Anggota DPR melakukan kunjungan kerja (kunker) fiktif yang berpotensi merugikan negara sebesar Rp945 miliar”.

Kalimat di atas adalah petikan dari salah satu berita pada media dalam jaringan (daring) nasional, sindonews.com, tanggal 13 Mei 2016, dengan tajuk “Kunjungan Kerja Fiktif DPR Rugikan Negara Rp945 M”. Berita serupa juga marak diberitakan dan dibahas oleh media-media massa nasional lainnya, baik daring, cetak, maupun elektronik, dan menjadi viral dibahas oleh netizen (pengguna internet) di media-media sosial.

Maraknya pemberitaan dan besarnya perhatian masyarakat mengenai “kunker fiktif” ini, tentu dapat dipahami. Selain karena citra DPR selama ini tidak terlalu positif di benak masyarakat, juga karena jumlah nominal potensi kerugian negara yang luar biasa, hampir satu trilyun rupiah. Angka 1 trilyun rupiah tentu sangat besar. Sebagai pembanding, angka tersebut hampir seperempat dari nilai APBD Provinsi Sumbar tahun anggaran 2015 yang berjumlah 4,172 trilyun rupiah. Tentunya banyak program untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat bisa dijalankan dengan anggaran sebesar itu. Dan, tentunya sangat memprihatinkan kalau anggaran sefantastis itu menguap begitu saja jika terbukti digunakan untuk “membiayai” kunker fiktif.

Memang, dalam berita itu dijelaskan lebih lanjut, bahwa angka tersebut memang berdasarkan sampel pemeriksaan dan baru bersifat dugaan potensi kerugian negara, karena proses audit oleh BPK RI masih sedang berlangsung. Juga dijelaskan, adanya dugaan kunker fiktif tersebut bukan sepenuhnya berarti para anggota dewan tersebut tidak melaksanakan kunker namun tetap menerima uang/ biaya perjalanan dinas. Namun, ada juga yang disebabkan karena laporan hasil perjalanan dinas kunker dinilai tidak memadai, sehingga pelaksanaan kunker-kunker tersebut sulit diyakini kebenarannya. Namun, apapun alasannya, masyarakat awam terlanjur menghakimi, bahwa para anggota DPR RI  telah melakukan kecurangan dengan merekayasa perjalanan dinas dan menyelewengkan anggaran negara nyaris satu trilyun rupiah.

Dalam dunia audit, jika memang terbukti telah tejadi perjalanan dinas fiktif, tentunya harus dikategorikan sebagai fraud. Secara sederhana, fraud bisa diartikan sebagai perbuatan curang terkait dengan penggunaan anggaran. Jika fraud memang terbukti, konsekuensinya adalah pengembalian kerugian negara dan bisa berlanjut dengan tuntutan pidana terhadap pelaku fraud atas modus-modus kecurangan yang telah dilakukan. Nah, pertanyaannya, apakah kunker fiktif DPR RI dengan potensi kerugian negara hampir satu trilyun tesebut termasuk kategori fraud? Apakah pelakunya harus mengembalikan/mengganti kerugian negara dan dipidanakan?

Untuk memastikannya, perlu dipahami terlebih dahulu norma dan kriteria yang digunakan dalam pengelolaan APBN, khususnya mengenai penggunaan dan sahnya pertanggungjawaban anggaran perjalanan dinas. Norma dan kriteria utama dalam penggunaan anggaran negara adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, kususunya pasal 3 ayat (1) yang menyatakan, “Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan”. Berdasarkan undang-undang ini, jelas, bahwa salah satu norma penggunaan uang negara adalah “bertanggung jawab”.

Nah, untuk perjalanan dinas dalam rangka kunjungan kerja, bagaimana wujud pertanggungjawabannya sebagaimana yang diamanatkan undang-undang tersebut? Dalam sistem akuntansi pemerintahan, kegiatan kunjungan kerja dibiayai dengan mata anggaran kegiatan (MAK) perjalanan dinas. Dalam peraturan-peraturan turunan dari UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebagaimana telah disebut di atas,  diatur lebih rinci, bagaimana mempertanggunjawabkan biaya perjalanan dinas.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190 Tahun 2012, khususnya pasal 40 Ayat (3) huruf b, diatur bahwa pembayaran biaya perjalanan dinas haruslah berdasarkan bukti-bukti yang sah meliputi surat tugas, daftar penerima pembayaran, dan dokumen pendukung lainnya sesuai ketentuan. Kemudian, peraturan Menteri Keuangan di atas, dirinci lagi oleh Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor Per–22/PB/2013  tentang Ketentuan Lebih Lanjut Pelaksanaan Perjalanan Dinas Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap. Pada pasal 2 ayat (4) huruf c, diatur bahwa pelaksana perjalanan dinas harus segera mempertanggungjawabkan pelaksanaan Perjalanan Dinas setelah Perjalanan Dinas dilaksanakan.

Bentuk konkret pertanggungjawaban tersebut berupa bukti-bukti pengeluaran atas komponen-komponen biaya perjalanan dinas yang telah dilaksanakan, yaitu uang harian uang saku, biaya transpor, biaya penginapan, uang representasi, dan sewa kendaraan dalam kota, dan dilengkapi dengan laporan hasil perjalanan dinas sebagai output.

Juga diatur lebih lanjut pada pasal 5, bahwa biaya perjalanan dinas tidak bisa dibayarkan apabila terdapat: a. bukti-bukti pengeluaran/dokumen yang palsu; b. melebihi tarif tiket/biaya penginapan resmi (mark up); c. pelaksanaan Perjalanan Dinas rangkap pada waktu yang sama; dan/atau d. pelaksanaan dan pembayaran biaya perjalanan dinas yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan mengenai perjalanan dinas.

Dengan menggunakan peraturan-peraturan di atas sebagai kriteria, barulah dapat dijelaskan, apakah dugaan kunker fiktif DPR tersebut memang fraud dan pelaku-pelakunya harus mengganti kerugian negara dan (mungkin) diproses pidana, atau hanya pelanggaran administrasi, yang pelakunya cukup dituntut memperbaiki atau melengkapi kekurangan administrasi?

Kunker tersebut bisa dikategorikan fraud, antara lain jika setelah melalui proses audit terbukti, bahwa  terdapat bukti-bukti pengeluaran yang palsu, misalnya tiket pesawat atau bill tagihan hotel/penginapan palsu. Jika kondisi ini yang terjadi, jelas, bahwa yang bersangkutan tidak melaksanakan perjalanan dinas, dan untuk itu harus mengembalikan biaya perjalanan dinas yang telah diterimanya. Dan atas bukti-butki pengeluaran palsu, juga jelas, bisa dijerat pidana dengan menggunakan pasal mengenai pemalsuan. Kondisi serupa ini bisa juga terjadi pada perjalanan dinas rangkap pada waktu yang sama, yang mana salah satu dari perjalanan dinas tersebut menggunakan bukti-bukti pertanggungjawaban palsu.

Namun, bisa juga kunker DPR tersebut bukan fiktif, tapi cuma administrasi pertanggungjawabannya yang tidak lengkap. Misalnya, para anggota DPR tersebut setelah menyelesaikan kunker tidak membuat laporan perjalanan dinas. Jika kondisi ini yang terjadi, tentunya tidak perlu ada pengembalian biaya, karena secara materil perjalanan dinas telah dilaksanakan, dan yang bersangkutan cukup diwajibkan untuk segera membuat laporan hasil perjalanan dinas. Berdasarkan keterangan ketua BPK, Harry Azhar, berdasarkan sampel pemeriksaan yang dilakukan auditor-auditor BPK RI, memang ada indikasi kondisi seperti ini yang terjadi.

 Dengan demikian, jika audit BPK RI selesai, bisa jadi hasilnya tidak sebumbastis yang  telah telanjur “heboh” di media dan masyarakat. Bahkan bisa saja, semua hanya temuan kelemahan administrasi, yang berarti secara materil negara tidak dirugikan sama sekali, karena terbukti semua kunker tersebut memang dilaksanakan, bukan fiktif.

Namun, sebenarnya isu yang lebih menarik untuk dikritisi bukan hanya sekedar masalah apakah kunker tersebut fiktif atau tidak. Sebab, andaipun kunker tersebut ternyata tidak fiktif, tetap perlu dipertanyakan, apakah kunker tersebut telah efektif, efisien, dan ekonomis, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara? Juga perlu diingat, salah satu prinsip pelaksanaan perjalanan dinas adalah, harus selektif, yaitu hanya untuk kepentingan yang sangat tinggi dan prioritas yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan.

Jangan-jangan, kunker-kunker tersebut hanya sekedar untuk “menghabiskan” anggaran untuk mengejar realisasi/serapan. Tidak ada unsur untuk kepentingan yang sangat tinggi dan prioritas. Semoga audit BPK RI mencermati sampai kesana. Sebab, sudah waktunya logika penggunaan APBN berubah dari anggapan “jika realisasi penggunaan anggaran rendah berarti kinerja lemah, dan jika realisasi anggaran tinggi berarti kinerja bagus”. Padahal, realisasi rendah bisa saja karena pengguna anggaran efisien dalam mengelolaa anggarannya, bukan karena berkinerja lemah.

Jika anggapan seperti itu terus berlangsung, tentunya negara akan dirugikan, karena penggunaan anggaran tidak benar-benar  tepat sasaran, yaitu berorientasi kepada sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di negara ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun