Mohon tunggu...
Arfi Zon
Arfi Zon Mohon Tunggu... Auditor - PNS

PNS yang hobi olahraga dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Sulitnya Menjerat Perusak Lingkungan

18 Februari 2016   15:23 Diperbarui: 18 Februari 2016   15:31 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kembali ke contoh karlahut. Tidak mudah membuktikan bahwa suatu perusahaan (katakanlah perkebunan) secara materil telah terbukti melakukan tindak pidana pembakaran hutan/lahan. Perusahaan-perusahaan tersebut berkilah bahwa bukan mereka yang melakukan pembakaran, tapi masyarakat. Dengan demikian, secara unsur pidana formil, si perusahaan memang tidak terbukti melakukan pelanggaran/perbuatan melawan hukum. Meskipun, mungkin kita sangat yakin bahwa perusahaan tersebut lah yang mendalangi pembakaran yang dilakukan oleh masyarakat itu. Namun secara formil tetap saja tidak bisa dibuktikan. Logikanya, tidak mungkin mereka serampangan dalam melakukan pelanggaran sehingga dengan mudah dijerat hukum.

Masalah selanjutnya adalah, pembuktian akibat dari pencemaran/perusakan lingkungan. Ini juga masih debatable, sebagaimana disinggung dalam masalah penegakan hukum perdata tadi. Tidak gampang membuktikan bahwa kebakaran hutan itu merugikan, bahkan bisa saja secara formal fakta diputarbalikkan, bahwa ternyata membakar hutan tidak merusak lingkungan, bahkan menguntungkan, karena tanah bekas kebakaran hutan akan menjadi subur.  Jika demikian, hubungan kausalitas (sebab – akibat) tentu menjadi tidak terbukti. Ditambah lagi adanya azas in dubio pro reo, yang bermakna, “dalam hal keragu-raguan hakim hendaknya memutus menguntungkan terdakwa (misalnya dalam keadaan kurang bukti, dll)”. Rumit bukan? Namun, demikianlah. Memang seperti itu sistem hukum bekerja.

Lantas bagaimana? Apakah akan selamanya sulit menjerat perusak lingkungan? Secara formal, sepertinya demikian.  Harapan terbesar sepertinya hanya bisa kita bebankan ke pundak para hakim yang mengadili kasus-kasus lingkungan. Jika mengacu pada pendapat Roadbruch, bukankan suatu putusan pengadilan itu harus memuat ideedes rechts? Yaitu harus memenuhi unsur keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Prinsip ini bermakna bahwa unsur keadilanlah yang harus diutamakan. Sementara kenyataannya, saat ini terkesan banyak putusan pengadilan yang lebih mengedepankan kepastian hukum semata, sehingga rasa keadilan terabaikan.

Jika rasa keadilan yang dikedepankan, rasanya sangat gampang kita simpulkan. Jelas tidak adil, jika suatu perusahaan yang sudah mengambil banyak keuntungan dari lingkungan, kemudian dinyatakan tidak bersalah ketika lingkungan yang menjadi sumber keuntungannya itu menjadi rusak dan menyebabkan kerugian besar bagi rakyat banyak, bangsa, dan negara.    

Oleh karena itu, kita perlu hakim yang berwawasan lingkungan. Yang menerapkan hukum secara progresif dengan mengedepankan rasa keadilan. Tidak hanya mengedepankan penerapan hukum formal dengan pembuktian-pembuktian yang kaku. Kita juga butuh para saksi ahli yang juga mengedepankan rasa keadilan. Agar cita-cita tertinggi hukum itu sendiri bisa tercapai, yaitu keadilan dan kemaslahatan bagi umat manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun