Mohon tunggu...
Arfi Zon
Arfi Zon Mohon Tunggu... Auditor - PNS

PNS yang hobi olahraga dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Sulitnya Menjerat Perusak Lingkungan

18 Februari 2016   15:23 Diperbarui: 18 Februari 2016   15:31 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bencana alam selalu membawa kerugian dan kesengsaraan. Kebakaran hutan dan lahan (karlahut) pada musim kemarau lalu salah satu contohnya. Kita sama-sama merasakan betapa bencana asap karena karlahut tersebut menghabiskan energi bangsa ini. Masyarakat menderita berbagai penyakit akibat asap, aktivitas ekonomi tidak bisa berjalan normal, uang puluhan milyar rupiah terpaksa “dibuang” untuk memadamkan api. Sementara, dunia Intenasional pun bertubi-tubi protes. Menuding kita tidak mampu mencegah karlahut dan memadamkan yang telah terbakar. Singkatnya, bencana menyebabkan kerugian dan masalah bagi masyarakat dan negara dalam skala yang sangat besar.

Yang jadi pertanyaan adalah, jika seseorang merasa dirugikan oleh orang lain, bahkan walau hanya nama baiknya saja, bisa menuntut dan menggugat pelakunya ke pengadilan, bagaimana dengan para penyebab bencana yang mengakibatkan kerugian dan kerusakan bagi orang banyak bahkan negara? Tidakkah justru akan semakin gampang menuntut, menggugat, dan memenjarakan mereka? Sepertinya dan seharusnya memang begitu. Tapi kenyataannya tidak.

Contoh terdekat, PT Bumi Mekar Hijau (BHM) lepas dari jerat hukum atas gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam kasus pembakaran hutan dan lahan di Pengadilan Negeri Sumatera Selatan. Padahal, kita tentu sepakat, betapa bencana asap 2015 lalu itu sangat dahsyat dan merugikan bangsa ini. Tatanan kehidupan masyarakat terganggu, sedangkan negara dibuat pusing karena tuntutan dari dalam maupun luar negeri agar bencana asap segera berhenti. Jauh sebelumnya, juga seringkali negara (khususnya Kementerian Kehutanan saat itu) kalah di pengadilan ketika berperkara dengan perusahaan-perusahaan yang diduga merusak hutan.

Banyak ahli berpendapat, bahwa kekalahan-kekalahan negara atas swasta tersebut terjadi karena lemahnya materi gugatan maupun basis perundang-undangan yang dijadikan dasar untuk menggugat oleh pihak pemerintah. Terlepas dari pendapat para ahli tersebut, kekalahan-kekalahan tersebut membuktikan bahwa memang sulit menjerat perusak lingkungan.

Bagi masyarakat awam, tentu muncul pertanyaan, kenapa sih sulit sekali menjerat mereka? Bukankah sudah jelas-jelas mereka merusak lingkungan? Dalam kasus asap tadi contohnya. Bukankah jelas buktinya, berbulan-bulan hampir seluruh provinsi di Sumatera dan Kalimantan gelap oleh kabut asap. Masyarakat menderita berbagai penyakit bahkan sampai jatuh korban jiwa karenanya. Apalagi yang kurang? Lantas, mengapa sulit sekali menghukum mereka? Padahal, jika mengacu pada perangkat hukum yang ada, antara lain Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), sepertinya gampang dan banyak celah untuk menjerat perusak lingkungan hidup tersebut.

Dalam Undang-Undang tersebut di atur, tidak hanya negara, bahkan masyarakatpun berhak mengajukan gugatan apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Undang-Undang PPLH juga mengatur, bahwa penegakan hukum bagi pencemar/perusak lingkungan terdiri atas tiga bentuk, yaitu administrasi, perdata, dan pidana. Jika terjadi pelanggaran, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memberikan sanksi administrasi, namun jika kasusnya berat dan dampaknya besar serta dapat meresahkan masyarakat, dapat langsung ditindaklanjuti dengan penerapan sanksi pidana (Modul Pengawasan dan Penegakan Hukum Lingkungan, Pusat Pendidikan dan Pelatihan KLH: 2010: 29).

Jadi, pada kasus-kasus yang meresahkan masyarakat seperti karlahut dengan skala besar, pemerintah memang bisa langsung menerapkan sanksi administrasi, mulai dari teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, sampai pencabutan izin lingkungan. Namun, jika kasusnya meresahkan, tentu masyarakat tidak akan puas jika pemerintah tidak langsung mencabut izin operasional perusahaan pencemar/perusak lingkungan dimaksud. Padahal tidak semudah itu. Untuk sampai pada tahap mencabut izin tersebut, banyak tahapan yang harus dilalui, dan banyak ketentuan yang dilanggar terlebih dahulu sehingga suatu perusahaan bisa dicabut izinnya.

Dengan demikian, pencabutan izin hampir mustahil terjadi. Karena pada dasarnya sanksi administrasi itu hanya dikenakan terhadap pelanggaran administrasi pula, yang pengenaannya juga harus bertahap, mulai dari teguran pertama sampai ke yang paling berat, yaitu pencabutan izin. Logikanya, tidak mungkin suatu perusahaan tidak segera memperbaiki kesalahannya jika telah diberi beberapa kali peringatan. Dengan demikian, secara administrasi, sulit untuk menjerat perusak lingkungan sampai pada tahap pencabutan izin operasional. Jika dipaksakan demi memenuhi tuntutan aspirasi masyarakat, tentunya pemerintah akan mendapat “perlawanan balik” berupa gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dan sejauh ini, tak jarang pemerintah kalah sehingga diharuskan membatalkan pencabutan izin.

Bagaimana dengan penegakan hukum perdata? Penegakan hukum perdata intinya bertujuan untuk menggugat perusahaan pencemar/perusak lingkungan yang tetap melakukan pelanggaran meskipun telah dikenakan sanksi administrasi. Dengan gugatan perdata, pencemar/perusak lingkungan dituntut untuk memperbaiki kondisi lingkungan yang dicemari/dirusak dan atau mengganti kerugian masyarakat/negara karena pencemaran/kerusakan lingkungan tersebut.

Ini juga tidak mudah. Umumnya pihak pemerintah kalah dipengadilan dan segala tuntutannya ditolak karena tidak bisa menetapkan nilai kerugian negara dengan dasar perhitungan yang jelas. Kembali kasus PT BHM tadi contohnya. Perhitungan kerugian yang ditetapkan oleh pemerintah dianggap tidak tepat oleh hakim. Tuntutan negara kepada PT HBM untuk mengganti rugi kerusakan hutan dan lahan senilai 7 trilyun rupiah, oleh hakim dianggap tidak berdasarkan argumen yang meyakinkan/tidak terbantahkan. Hakim mendasarkan penolakan tersebut antara lain berdasarkan pendapat saksi ahli dari pihak PT HBM yang menyatakan, bahwa kebakaran hutan tidak merusak lingkungan, karena hutan yang terbakar akan bisa pulih kembali. Sementara pihak pemerintah belum bisa membuktikan sebaliknya.

Nah, akhirnya semua memang harus bermuara pada pembuktian unsur pidana. Akan lebih mudah penegakan hukum perdata diajukan setelah penegakan hukum pidananya sukses (menang) (Modul Pengawasan dan Penegakan Hukum Lingkungan, Pusat Pendidikan dan Pelatihan KLH: 2010: 29). Namun, pembuktian tindak pidana ini juga tidak mudah. Setidaknya harus dibuktikan tiga unsur tindak pidana materil secara kumulatif, yaitu; perbuatan melawan hukum; telah terjadi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan (akibat), dan; hubungan kausalitas (sebab-akibat) antara perbuatan dan akibat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun