Jack menatap pantulan dirinya dalam cermin, rambut mulai memajang, wajah masam tak berekspresi. Mengusap wajah lelahnya, pria itu menoleh ketika seorang gadis berusia 12 tahun membuka pintu kamarnya, tersenyum sebelum kemudian memeluk sang ayah.
"Yah, kakinya masih sakit ya? Gak usah kerja dulu, nanti biar Om sama Tante datang ke sini kirim makanan buat Ayah, hmm?"
Perempuan manis berambut pendek itu berucap lembut, membuat seulas senyum mengembang di bibir Jack — dia begitu mirip dengan mendiang Bunda-nya, dan demi apapun … itu membuat Jack semakin gila.
"Engga, Ayah udah gak papa."
Sungguh, Jack begitu bangga melihat putri kecilnya tumbuh. Wajah tirus, bibir tipis, serta mata sipit yang menyerupai sang Bunda.
"Ya udah, nanti Sofia susul ayah di pasar, ya?" Jack mengangguk, mengelus lembut surai hitam putrinya sebelum kemudian memberi kecupan di kening — rutinitas pagi sebelum gadis itu berangkat sekolah.
Jack mengambil tas perkataan dan sebuah papa lukis dengan beberapa kanvas. Ya, inilah pekerjaan yang telah ia tekuni selama bertahun-tahun — sejak muda, kala Jiya masih berada di sampingnya, Jack menjadi seniman yang membuatkan lukisan sesuai pesanan, atau sekedar menjajakan karya di pasar.
Gambaran Jack sangat jauh dari kata buruk, itu bahkan sangat berseni. Namun takdir masih belum memihak, membuatnya terasingkan ke sudut pasar dengan uang yang hanya cukup untuk biaya sekolah Sofia dan makan seadanya — itupun biasnaya masih di bantu saudara.
"Heh paman! Apa kerajaanmu cuma menggambar perempuan cacat itu saja! Itulah kenapa karyamu tak pernah laku! Gambarlah yang lain!"
Jack menggeleng, mengabaikan ucapan pemuda yang meneriakinya, memilih tetap menggoreskan kuas di kanvas, membentuk setiap garis pada lukisan wajah istrinya dengan penuh cinta.