Â
Â
Â
           Meskipun tampak sepele, gunungan sampah yang bertebaran di penjuru Kota Medan membuat para pecinta pemukiman layak huni geregetan juga. Bayangkan saja, tempat pembuangan sampah di sekitar pemukiman penduduk hampir tak ada berdiri, punah.
           Tempat sampah, baik yang permanen maupun yang fleksibel seperti kotak sampah nyaris tak terlihat. Masyarakat pun mengambil keputusan membuang sampah di lahan kosong yang sesungguhnya bukan tempat pembuangan sampah.
Buah Pertumbuhan Ekonomi
           Memang tingginya produksi sampah warga Medan merupakan berkah dari pertumbuhan ekonomi. Peningkatan pertumbuhan ekonomi selalu diiringi oleh peningkatan pendapatan yang berujung pada peningkatan konsumsi masyarakat.
           Penelitian menunjukkan apabila rata-rata pendapatan penduduk kota meningkat 1% saja, sampah kota akan bertambah 0,34%, demikian kajian Beede dan Bloom (1955). Dengan pertumbuhan ekonomi Medan yang mencapai 6 persen pada tahun lalu seharusnya diiringi dengan komitmen pemerintah daerah menambah anggaran sampah sebanyak lebih kurang 2.04 persen. Dan jika selama 10 tahun pertumbuhan setiap tahun mencapai 6 persen seharusnya pemerintah daerah menambah anggaran sampah mencapai 20.4 persen.
           Padahal, faktanya tidak demikian. APBD Kota Medan sangat minim menganggarkan dana untuk menanggulangi sampah. Mungkin merasa  sampah tidak menguntungkan, membuat perhatian pemerintah kota (pemkot)  sangat minim. Sudah bukan rahasia umum, selama ini yang menjadi pertimbangan utama pemkot atas sebuah kebijakan adalah "kontribusi PAD", bukan atas pertimbangan "kepentingan" semua warganya, seperti kebijakan pemanganan sampah masyarakt yang telah merusak ruang publik. Tak percaya, sekali-sekali coba saja Anda ke Medan, sampah bertebaran di mana-mana.
Meretakkan Hubungan Sosial
           Padahal, dampak minimnya sarana dan prasarana pembuangan sampah warga bukan sekadar membuat kualitas kesehatan dan lingkungan menurun. Terlebih lagi dapat membuat retaknya hubungan sosial masyarakat, yang bisa berujung budaya kekerasan. Pertama, serakan sampah di pemukiman masyarakat telah memacu kecemburuan sosial. Bukan rahasia umum lagi, persoalan ketiadaan tempat pembuangan sampah justru terjadi di daerah padat penduduk, yang sebagian besar warganya tergolong kelas menengah ke bawah. Sementara itu, pemukiman elite sama sekali tak mengalami persoalan sampah. Akibatnya, sering sekali masyarakat yang mengalami persoalan sampah tersebut membuang sampahnya ke tanah kosong dan daerah yang dihuni masyarakat mampu. Tanah kosong, rumah tak berpenghuni, dan jalan di sekitar pemukiman elite menjadi sasaran tempat pembuangan sampah penduduk.
           Kedua, masalah sampah juga membuat retak hubungan masyarakat dan pemerintah daerah. Rakyat sudah tak percaya lagi dengan keberadaan pemkot. Sudahlah tak mampu menjamin pasokan listrik di Medan, sekarang bertambah dengan kegagalan mengatasi sampah perkotaan. Wibawa Pemkot Medan telah runtuh di mata masyarakatnya.
           Ketiga, akumulasi gas polutan di atmosfer menyebabkan efek rumah kaca yang berasal dari penyimpangan tata ruang hijau, alih fungsi menjadi permukiman, perkantoran, pusat perbelanjaan, kendaraan, dan pembakaran sampah sesungguhnya dirasakan oleh setiap orang dalam bentuk suhu yang lebih panas. Secara psikologis, suhu yang menigkat itu menimbulkan perubahan dalam pengendalian emosional seseorang. Sikap emosional itu muncul dalam bentuk kekerasan karena masalah sosial, seperti dalam bentuk kebijakan yang diskriminatif terhadap kaum miskin perkotaan serta masalah perubahan lingkungan alam tersebut.
Tugas Pemerintah Kota
Pemkot Medan seharusnya tanggap pada persoalan sampah yang telah melanda seantero kota. Bukan sekadar rasa tanggung jawab pemerintah kepada rakyatnya, terlebih lagi target pemerintah pusat melalui Kementerian Perkerjaan Umum menargetkan bahwa tahun 2019 Indonesia harus bebas persoalan sampah.
Sebenarnya kalau pemkot jernih berfikir, penyelesaian sampah ini bukan melulu persoalan kucuran dana yang besar. Memang anggaran sampah perlu di tambah jika ingin membebaskan Sumut dari lautan sampah. Tapi, yang terpenting adalah membangun kesadaran warga agar peduli kepada sampah.
Masyarakat harus disadarkan bahwa mengatasi sampah adalah kewajiban setiap individu. Oleh sebab itu, perlu ada semacam stimulan dari pemkot agar terbentuk gerakan peduli sampah, misalnya melalui kelompok pengajian, kelompok arisan, revitalisasi PKK, dan posyandu untuk melakukan kebersihan lingkungan dengan cara "mengelola sampah secara mandiri" dan sewajarnya pemerintah kota memberikan perhatian dan dukungan untuk kegiatan semacam ini. Dengan demikian, masalah persampahan menjadi tanggung jawab bersama: pemerintah-masyarakat.
Jika masyarakat dapat diberdayakan, pemerintah tinggal memikirkan sampah dari tempat-tempat umum, seperti pasar, perkantoran, dan jalanan. Ke depan kebijakan izin untuk mendirikan permukiman, perkantoran, hotel, dan seterusnya harus dimasukkan persyaratan ketersediaan lahan untuk pengelolaan sampah secara mandiri dengan teknologi yang ramah lingkungan.
Penggunaan teknologi dengan sistem pembakaran sebaiknya dihindarkan, mengingat risiko emisi yang membahayakan kesehatan, lingkungan sosial, dan alam. Selain biaya investasi yang sangat tinggi dibandingkan dengan cara-cara lain yang lebih ramah lingkungan, seperti sampah dijadikan kompos untuk menggantikan pupuk kimia, reklamasi lahan marginal, pakan ternak, industri, serta pendaur ulang bahan nonorganik tanpa pembakaran.
Sesungguhnya, upaya itu dapat mendatangkan sumber pendapatan, baik pemerintah maupun warga yang terlibat dalam pengelolaan sampah tersebut. Selanjutnya, kegiatan semacam ini tentu dapat mengurangi subsidi pemerintah. Bahkan berdampak positif terhadap perluasan lapangan kerja di sekitar daur ulang persampahan organik dan anorganik.
Sekarang, saatnya pemerintah serius melepaskan Medan dari lautan sampah. Jika, kepala daerahnya cerdas, sampah bisa dijadikan sumber pendapatan daerah (PAD) yang baru. Negara-negara maju telah lama menjadikan sampah sebagai lahan rejeki, baik bagi kantong rakyatnya maupun kas daerah. Semoga.
Â
Oleh Arfanda Siregar
Penggiat Pemukiman Berkelanjutan (City Changer Indonesia)/Dosen Politeknik Negeri Medan/Perserta Forum Stake Holder Hari Habitat Dunia 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H