Kedua, masalah sampah juga membuat retak hubungan masyarakat dan pemerintah daerah. Rakyat sudah tak percaya lagi dengan keberadaan pemkot. Sudahlah tak mampu menjamin pasokan listrik di Medan, sekarang bertambah dengan kegagalan mengatasi sampah perkotaan. Wibawa Pemkot Medan telah runtuh di mata masyarakatnya.
           Ketiga, akumulasi gas polutan di atmosfer menyebabkan efek rumah kaca yang berasal dari penyimpangan tata ruang hijau, alih fungsi menjadi permukiman, perkantoran, pusat perbelanjaan, kendaraan, dan pembakaran sampah sesungguhnya dirasakan oleh setiap orang dalam bentuk suhu yang lebih panas. Secara psikologis, suhu yang menigkat itu menimbulkan perubahan dalam pengendalian emosional seseorang. Sikap emosional itu muncul dalam bentuk kekerasan karena masalah sosial, seperti dalam bentuk kebijakan yang diskriminatif terhadap kaum miskin perkotaan serta masalah perubahan lingkungan alam tersebut.
Tugas Pemerintah Kota
Pemkot Medan seharusnya tanggap pada persoalan sampah yang telah melanda seantero kota. Bukan sekadar rasa tanggung jawab pemerintah kepada rakyatnya, terlebih lagi target pemerintah pusat melalui Kementerian Perkerjaan Umum menargetkan bahwa tahun 2019 Indonesia harus bebas persoalan sampah.
Sebenarnya kalau pemkot jernih berfikir, penyelesaian sampah ini bukan melulu persoalan kucuran dana yang besar. Memang anggaran sampah perlu di tambah jika ingin membebaskan Sumut dari lautan sampah. Tapi, yang terpenting adalah membangun kesadaran warga agar peduli kepada sampah.
Masyarakat harus disadarkan bahwa mengatasi sampah adalah kewajiban setiap individu. Oleh sebab itu, perlu ada semacam stimulan dari pemkot agar terbentuk gerakan peduli sampah, misalnya melalui kelompok pengajian, kelompok arisan, revitalisasi PKK, dan posyandu untuk melakukan kebersihan lingkungan dengan cara "mengelola sampah secara mandiri" dan sewajarnya pemerintah kota memberikan perhatian dan dukungan untuk kegiatan semacam ini. Dengan demikian, masalah persampahan menjadi tanggung jawab bersama: pemerintah-masyarakat.
Jika masyarakat dapat diberdayakan, pemerintah tinggal memikirkan sampah dari tempat-tempat umum, seperti pasar, perkantoran, dan jalanan. Ke depan kebijakan izin untuk mendirikan permukiman, perkantoran, hotel, dan seterusnya harus dimasukkan persyaratan ketersediaan lahan untuk pengelolaan sampah secara mandiri dengan teknologi yang ramah lingkungan.
Penggunaan teknologi dengan sistem pembakaran sebaiknya dihindarkan, mengingat risiko emisi yang membahayakan kesehatan, lingkungan sosial, dan alam. Selain biaya investasi yang sangat tinggi dibandingkan dengan cara-cara lain yang lebih ramah lingkungan, seperti sampah dijadikan kompos untuk menggantikan pupuk kimia, reklamasi lahan marginal, pakan ternak, industri, serta pendaur ulang bahan nonorganik tanpa pembakaran.
Sesungguhnya, upaya itu dapat mendatangkan sumber pendapatan, baik pemerintah maupun warga yang terlibat dalam pengelolaan sampah tersebut. Selanjutnya, kegiatan semacam ini tentu dapat mengurangi subsidi pemerintah. Bahkan berdampak positif terhadap perluasan lapangan kerja di sekitar daur ulang persampahan organik dan anorganik.
Sekarang, saatnya pemerintah serius melepaskan Medan dari lautan sampah. Jika, kepala daerahnya cerdas, sampah bisa dijadikan sumber pendapatan daerah (PAD) yang baru. Negara-negara maju telah lama menjadikan sampah sebagai lahan rejeki, baik bagi kantong rakyatnya maupun kas daerah. Semoga.
Â