Partisipasi politik merupakan hal krusial dalam negara Indonesia yang menganut sistem demokrasi. Semakin banyak partisipasi politik dalam negara menunjukan bahwa rakyat peduli dan memahami perannya dalam penyelenggaraan negara. Adapun dalam pemilihan umum, tingkat partisipasi politik tersebut dapat dilihat dari seberapa banyak pemilih yang memutuskan untuk tidak memilih (golput). Â
Membahas lebih dalam mengenai partisipasi politik langsung, khususnya pemilihan umum, tentu tidak pernah terlepas dari pemilihnya. Pemilih ter merupakan warga negara yang memenuhi syarat untuk berkonstribusi memberikan suaranya terhadap aktor politik, sehingga menjadi pemangku kekuasaan.
Hal itu tidak terkecuali pemilih pemula yang didefinisikan sebagai pemilih yang baru pertama kali mengikuti pemilihan umum untuk memberikan suaranya. Berdasarkan Modul I Komisi Pemilihan Umum, dijelaskan bahwa pemilih pemula merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) yang sudah 17 tahun ataupun belum 17 tahun namun sudah pernah menikah.Â
Masa kini, pemilih pemula dapat dikatakan lekat dengan globalisasi dan terjamah oleh teknologi serta informasi yang menghadapkan mereka pada beragam tantangan. Seperti, perubahan politik, kebijakan negara yang seringkali menjadi masalah baru, terorisme, perdagangan bebas, bahkan intervensi internasional.Â
Adanya perbedaan karakter, latar belakang, pengalaman, serta tantangan menjadikan pemilih pemula berperan besar dalam menentukan masa depan bangsa.
Pemilih pemula dinilai belum memiliki kedekatan dengan kandidat atau calon pemangku kekuasaan, baik secara nilai, budaya, agama, norma, emosional, hingga ideologis. Hal itu menjadikan mereka memiliki tingkat kecerdasaan cukup tinggi untuk menilai kandidat yang baik dan buruk. Selain itu, pemilih pemula yang mayoritasya milenial ini pun dinilai melakukan adaptasi politik yang berbeda dengan generasi diatasnya. Karena, dinamika politik terkadang dianggap tidak begitu menarik bagi mereka.
Meskipun demikian, pada tahun 2019, jumlah pemilih pemula yang berusia hingga 35 tahun mencapai sekitar 14 juta orang. Menurut Milbrath dan Sastroatmodjo (dalam Wardhani, 2018) faktor yang mendorong pemilih pemula untuk terlibat dalam partisipasi politik pemilu, yaitu:Â
1) Adanya kepekaan seseorang pada pematik politik, dimana dapat dilakukan melalui kontak pribadi ataupun organisasi, dimana seseorang menjadi tertarik berpartisipasi dalam politik karena aktif dalam organisasi ataupun melihat media massa;Â
2) Berkenaan pada karakteristik sosial yang berpengaruh pada partisipasi politik, Meskipun status pemilih pemula berbeda satu dengan lainnya, terdapat banyak yang peduli terhadap hak politiknya;Â
3) Sistem partai dan sistem politik suatu negara mempengaruhi dinamika pemilih pemula. Dalam negara demokratis, seseorang condong untuk berpartisipasi karena mencari dukungan massa;Â
4) Terdapat perbedaan regional yang mempengaruhi perbedaan tingkah laku individu. Daerah yang kondusif akan menghasilkan pemilih pemula yang berpartisipasi karena keinginan pribadi tanpa paksaan.
Di samping adanya faktor pendorong, terdapat pula hambatan bagi pemilih pemula. Diantaranya yaitu, adanya berbagai kesibukan sehari-hari, dimana pemilih pemula pada umumnya adalah mahasiswa atau pekerja.Â
Kesibukan tersebut cenderung mengesampingkan bidang politik dari kegiatan sehari-hari mereka dan menghambat partisipasi mereka dalam pemilu.Â
Faktor berikutnya yaitu adanya perasaan insecure karena tingkat pendidikan serta ekonomi yang rendah, serta perbedaan jenis kelamin. Hal ini masih menjadi persoalan yang tak kunjung usai, dimana laki-laki dianggap lebih pantas untuk berada di dunia politik daripada perempuan dan orang-orang yang berstatus sosial ataupun ekonomi tinggi cenderung lebih aktif serta banyak kesempatan untuk berpartisipasi daripada yang berstatus sosial rendah. Kemudian, keluarga juga menjadi faktor pendorong ataupun penghambat seseorang dalam berpartisipasi dalam politik.Â
Eratnya kekeluargaan di Indonesia dapat mempengaruhi keputusan anggota keluarga lainnya dalam bertindak, termasuk untuk berpartisipasi dalam bidang politik.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemilih pemula adalah asset penting negara yang harus dikelola untuk menentukan penguasa dalam penyelenggaraan negara.Â
Dalam rangka mengupayakan yang terbaik untuk pemilih pemula, perlu dilakukan beberapa hal. Pertama, harus ada keterlibatan pemerintah dalam mengorganisasi data pemilih pemula dalam pemilu.Â
Sehingga mengurangi pelanggaran aturan dan sesuai dengan petunjuk teknis dan surat edaran. Kedua, setiap pihak yang ahli dalam politik, termasuk KPU sebaiknya lebih gencar untuk mensosialisasikan hal terkait politik kepada pemilih pemula agar pemahaman mengenai politik pun semakin luas. Ketiga, pemilih pemula harus ditingkatkan pendidikan politiknya agar terhindar dari money politic.Â
Bagaimanapun, pemilih cerdas akan memilih pemimpin yang berkualitas. Terakhir, peran partai politik harus ikut berkontribusi untuk melakukan komunikasi politik tidak hanya ketika tahun politik agar pemilih pemula dapat meningkatkan kesadaran untuk menggunakan suaranya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H