Mohon tunggu...
Aretas Batan Hiangleraq
Aretas Batan Hiangleraq Mohon Tunggu... Lainnya - Upaya Menjaga Kewarasan

Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Menghadapi Pandemi dengan Asketisme Seturut Teladan Sartono Kartodirjo

20 November 2020   12:29 Diperbarui: 20 November 2020   12:34 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu tahun semenjak kemunculan wabah Covid-19 di China, tepatnya di Provinsi Hubei pertengahan November tahun lalu. Menurut data dari Worldometers, pada akhir Mei lalu sudah ada 198 negara di dunia mengkonfirmasi kasus positif Covid-19 dengan jumlah kasus keseluruhan ada di angka 467.500 kasus, WHO telah menyatakan bahwa wabah ini merupakan pandemi. Angka kasus itu terus naik hingga pada pertengahan November 2020 sudah tercatat sekitar 55,6 juta kasus positif.

Wabah pandemi ini seakan-akan menjadi sebuah pukulan yang telak bagi seluruh negara di dunia. Banyak sektor yang terdampak dengan adanya pandemi ini, masalah mulai muncul dimana-mana. Sektor ekonomi salah satu yang paling terdampak dengan adanya pandemi ini, pariwisata di berbagai negara juga mulai lesu dengan diberlakukannya pembatasan keluar masuk. Pemerintah mengeluarkan kebijakan karantina wilayah untuk membatasi penyebaran virus, sehingga banyak sekolah yang meliburkan siswanya dan melakukan Study From Home. Begitupun dengan kantor-kantor yang menganjurkan para karyawannya untuk bekerja dari rumah.

Situasi ini memaksa banyak keluarga untuk berkegiatan dari dalam rumah. Orangtua yang sebelumnya sibuk bekerja di luar rumah menjadi memiliki banyak waktu untuk bersama anak-anak mereka yang juga sekolahnya menerapkan pembelajaran jarak jauh. Banyak kegiatan bersama keluarga yang bisa dilakukan dari rumah, seperti berkebun, memasak bersama, dan juga olahraga dengan salah satunya adalah bersepeda bersama. Di masa pandemi ini juga menjadi kesempatan untuk menguatkan sisi asketis kita dengan menerapkan kebiasaan-kebiasaan yang semakin membuat keintiman dengan Tuhan dan juga hubungan dengan manusia yang lebih baik. Pelajaran ini bisa kita petik dari teladan seorang sejarawan Indonesia yaitu Professor Sartono Kartodirjo.

Masa Kecil Sartono Kartodirjo

Setiap dari kita tentunya pernah membaca atau minimal mengenal sejarah bangsa Indonesia. Namun, tidak setiap orang mengenal sejarawan yang sangat berperan penting dalam penyususan itu. Di negara ini, apresiasi terhadap akademisi atau ilmuwan masih sangat minim meski sekedar hanya mengingat nama.

Kenyataan ini berlaku kepada guru besar sejarah kita Prof.Aloysius Sartono Kartodirjo, pria yang lahir pada tanggal 15 Februari 1921 di sebuah puskesmas kecil tepatnya di daerah Wonogiri. Terlahir dari keluarga sederhana, Ayahnya Tirtosarojo bekerja sebagai amtenaar pemerintah kolonial. Dan Ibunya, Sutiya adalah seorang perempuan jawa yang setiap harinya bekerja sebagai pengrajin batik di rumahnya.

Sejak kecil beliau dibesarkan dalam iklim keluarga jawa yang sangat kental budaya Kejawen. Setiap malam beliau selalu dilantunkan tembang-tembang jawa oleh Ibunya. Dan juga setiap ada pertunjukan wayang beliau tidak pernah absen untuk mengikuti pertunjukannya.

Selain hidup dalam lingkungan yang kental akan tradisi Kebudayaan Jawa, sejak masih usia belia beliau juga dididik untuk menjadi manusia yang berdisiplin tinggi dalam mengerjakan banyak hal. Nilai-nilai ini dapat dilihat pada karya biografi yang menceritakan tentang beliau, Membuka pintu Masa Depan: Biografi Sartono Kartodirjo, karya M. Nursyam. Beliau sejak masih usia belia sudah diajarkan ayahnya untuk selalu berdisiplin tinggi, seperti setelah sepulang sekolah dari Hollands Indische School (HIS) untuk mencuci pakaian, memberi makan burung perkutut. (Hal 25)

Prof. Sartono Kartodirjo mengawali pendidikannya pada tahun 1927 dengan masuk di HIS Wonogiri, setelah kelas empat beliau pindah ke HIS Surakarta. Setelah itu beliau melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di tahun 1934, dari sini ia mengenal banyak karya barat dan pengalaman akademisnya makin terasah.

Lalu pada tahun 1936 beliau melanjutkan pendidikan ke Muntilan, tepatnya di Hollands Inlandsche Kweekschool (HIK) Kolese Xaverius. Di sekolah ini beliau banyak belajar mengenai Teologi dari para rohaniawan yang mengajar di situ. Dan menghasilkan pribadi yang memiliki kecerdasan, kearifan, dan ketajaman jiwa. Setelah lulus pada tahun 1941, beliau dihadapkan pada pilihan untuk menjadi seorang bruder atau guru, beliau memilih jalan hidupnya untuk menjadi guru

Nilai Asketis Dalam Sosok Sartono Kartodirjo

Selama belajar dia HIK Kolese Xaverius Muntilan, beliau banyak dididik oleh para rohaniawan untuk menjadi pribadi yang memiliki kedekatan dengan Tuhan dan mempiliki kepekaan batin. Asketisme ini juga yang merupakan buah dididikan orangtua dan lingkungan Tradisi Kebudayaan Jawanya sejak kecil. Baginya Hidup hanya mampir minum, barang di dunia tidak kekal dan tidak akan dibawa mati. (Mustaqim Aji Nugroho, 2018)

Bagi beliau kenikmatan duniawi tidak akan abadi, seluruh hidupnya hanya dilakukan dengan tuntunan religiusitas jiwa dan moral. Kedekatan dengan Tuhan juga lah yang menuntunnya untuk bisa berfikir berlandaskan religiusitas dan tidak lupa dengan ketajaman analisis sejarah dengan sudut pandang "Masyarakat kecil". Di titik inilah beliau merupakan contoh yang baik sebagai hamba Tuhan yang baik dan sebagai masyarakat Jawa dengan memegang teguh prinsip Tegar, Intelektual dan sembodo.

Implementasi Nilai Asketis di Era Pandemi

Wabah pandemi seperti menyadarkan kita untuk sejenak menguatkan kembali hubungan dengan Sang Pencipta dan juga hubungan dengan manusia. Sebelum pandemi datang, seolah-olah kita merasa bahwa segala rencana kita dapat selalu tercapai karena semua kegiatan dapat berjalan dengan lancar. Tetapi sekali lagi pandemi menjadi sebuah ujian dari Tuhan kepada manusia bahwa ada kuasa yang dapat menjadi pembeda dengan banyak rencana manusia. Saatnya kita untuk memperkuat hubungan dengan Tuhan dengan menghilangkan keinginan atau nafsu jasmaniah melalui kegiatan yang dapat dilakukan dengan keluarga ataupun kerabat seperti beribadah bersama. Dan juga kita dapat menghadirkan kasih Tuhan kepada manusia dengan berbagai kegiatan amal terutama untuk orang-orang yang sangat terdampak dengan pandemi ini.

Kita berharap supaya ujian di masa pandemi ini dapat segera berakhir dan kembali beraktivitas normal dengan selalu menanamkan nilai asketis dalam diri kita masing-masing.

Oleh Aretas Batan Hiangleraq Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Airlangga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun