Mohon tunggu...
Ares Faujian
Ares Faujian Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Negeri 1 Manggar Prov. Kep. Bangka Belitung

Saya berprofesi sebagai guru Sosiologi di SMA Negeri 1 Manggar dan juga aktif sebagai penulis serta editor buku/ artikel di Kep. Bangka Belitung. Selain pernah mendapatkan penghargaan literasi dari Bupati Belitung Timur hingga Ketua DPRD Belitung Timur tahun 2020. Beberapa prestasi dan apresiasi yang pernah saya raih di tingkat regional dan nasional, yaitu: (1) Lulus seleksi dan dipilih sebagai Fasilitator Literasi Baca-Tulis Tk. Regional Sumatra oleh Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemdikbud RI tahun 2019; (2) Terbaik/ Juara III Nasional Guru Dedikatif dan Inovatif Kemdikbud RI tahun 2020, sehingga diapresiasi pula menjadi Agen Penguatan Karakter (APK) oleh Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemdikbud RI tahun 2020; (3) Anugerah Pegiat Literasi “Parasamya Suratma Nugraha” oleh Yayasan Komunitas Pengajar Penulis Jawa Barat tahun 2021; (4) Penghargaan ”10 Penulis Terbaik Kompetisi Opini Tingkat Nasional” oleh Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) Tahun 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Koneksi Antar Materi sebagai Pemimpin Pembelajaran dalam Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai-nilai Kebajikan

15 April 2023   16:45 Diperbarui: 15 April 2023   16:47 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth


Bagaimana filosofi Ki Hajar Dewantara (KHD) dengan Pratap Triloka memiliki kaitan dengan penerapan pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin?

KHD mengarahkan perilaku belajar dan watak siswa di sekolah dengan menitikberatkan pada peran pendidik sebagai pemimpin pembelajaran. Pendidik ini diibaratkan seperti seorang petani atau tukang kebun, dan siswa adalah benih tanaman yang ditabur petani (guru) di  lahan (sekolah).

Setiap bibit tanaman (siswa) ditanam dan dirawat secara berbeda. Misalnya, penanaman dan perawatan tanaman padi akan berbeda caranya jika berbicara versi jagung. Hal ini termasuk pula berbicara lahan garapan yang kurang subur sekali pun. Artinya, guru sebagai seorang pemimpin pembelajaran yang 'menuntun' sangat esensial perannya di kelas, dimana peran pendidik ini ialah memberikan bimbingan dalam menentukan arah perkembangan anak. Ia harus memastikan bahwa anak-anak berada di jalan yang benar, tidak tersesat, dan bahkan tidak membahayakan bagi diri mereka sendiri.

Proses 'menuntun' ini berpedoman pada Pratap Triloka, yakni semboyan "ing ngarso suntulodo", yaitu guru sebagai teladan dan pemberi contoh. Ada pula "ing madyo mangun karso", yakni guru sebagai pembangun semangat dan asa peserta didik, dan "tut wuri handayani", ialah  guru sebagai pendorong dari proses pendidikan si anak.

Dalam filosofi pendidikannya, KHD mengingatkan para pendidik untuk proaktif dan merangkul serta mengawal perubahan, termasuk mengambil keputusan-keputusan yang berpihak pada murid. Pengambilan-pengambilan keputusan ini juga harus mempertimbangkan moralitas, lokalitas dan kontekstualisasi Indonesia yang memiliki kekuatan sosial budaya yang beragam. Guru sebagai pemimpin pembelajaran harus tepat dalam memutuskan proses "penebalan" kealamiahan (kodrat) anak yang masih samar. Penebalan kontekstual ini merupakan filter untuk perubahan yang mungkin mengancam identitas lokalitas dan integritas negara Indonesia.

Bagaimana nilai-nilai yang tertanam dalam diri kita, berpengaruh kepada prinsip-prinsip yang kita ambil dalam pengambilan suatu keputusan?

Nilai-nilai yang terinternalisasi dari diri guru sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusannya dalam pembelajaran atau perjalanan pendidikannya di sekolah sebagai pemimpin pembelajaran. Namun dalam menggunakan prinsip-prinsip pengambilan keputusan yang ada, nilai-nilai yang tertanam dalam diri guru ini menjadi intuisi dan controlling bagi guru agar setiap keputusan yang ia buat. Semakin banyak nilai-nilai kebajikan positif yang ada pada diri guru, maka ia akan lebih bijak dan humanis dalam pengambilan keputusan, baik itu dalam pembelajaran, penanganan kasus-kasus siswa, hingga praktik coaching untuk rekan sejawat yang mengalami kendala atau hambatan dalam pekerjaan. Nilai-nilai yang terinternalisasi dalam diri guru, seperti nilai kebenaran, nilai empati, nilai gotong royong, nilai religius, dan lain-lainnya akan menjadikan guru sebagai pemimpin pembelajaran yang tidak hanya untuk siswa semata, namun juga keberadaan guru ini juga bermanfaat untuk rekan sejawat serta komunitas/ warga sekolahnya secara keseluruhan.

Bagaimana materi pengambilan keputusan berkaitan dengan kegiatan 'coaching' (bimbingan) yang diberikan pendamping atau fasilitator dalam perjalanan proses pembelajaran kita, terutama dalam pengujian pengambilan keputusan yang telah kita ambil? Apakah pengambilan keputusan tersebut telah efektif, masihkah ada pertanyaan-pertanyaan dalam diri kita atas pengambilan keputusan tersebut? Hal-hal ini tentunya bisa dibantu oleh sesi 'coaching' yang telah dibahas pada sebelumnya.

Materi modul 2.3 tentang coaching dan modul 3.1 tentang pengambilan keputusan sebagai pemimpin ini sangat erat keterhubungannya. Karena pada teknik coaching itu kita diajarkan untuk mengidentifikasi penyebab, persoalan, dan hal-hal yang terjadi pada diri seseorang. Proses eksplorasi dan praktik coaching yang kita lakukan ini kepada coachee (siswa/ guru sejawat) sebenarnya juga secara tidak langsung mengajarkan pada diri guru (coach) dalam menyelesaikan permasalahannya, baik itu dalam pembelajarannya, kehidupan sosialnya, dan hal lainnya. Guru (coach) pada praktik coaching ini diberikan wawasan baru dari pengalaman dan permasalahan yang disampaikan coachee pada saat proses coaching. Sehingga sebagai pendengar yang baik, coach bisa melakukan pengujian-pengujian berdasarkan sudut pandang orang lain ketika ia pernah melakukan praktik coaching kepada coachee-nya.

Terkait efektif atau tidak di dalam pengambilan keputusan, ini semua tergantung pada seberapa banyak pengalaman seorang guru dalam memecahkan masalah dan pengambilan keputusannya. Tentunya pengambilan keputusan ini juga harus dibarengi dengan masukan-masukan dari orang lain, serta mempertimbangkan ketetapan keputusan tsb melalui nilai-nilai kebajikan serta aspek kemanusiaan. Materi 4 paradigma, 3 prinsip dan 9 langkah pengujian dan pengambilan keputusan ini menjadi pengalaman pembelajaran yang tepat untuk melakukan praktik coaching kepada orang lain, yaitu guna memunculkan pertanyaan-pertanyaan berbobot, ataupun hasil praktik coaching tersebut yang bermanfaat bagi coach sebagai sumber pengalaman pengambilan keputusan yang berasal dari orang lain (coachee) yang sudah di-coaching.

Bagaimana kemampuan guru dalam mengelola dan menyadari aspek sosial emosionalnya akan berpengaruh terhadap pengambilan suatu keputusan khususnya masalah dilema etika?

Pengambilan keputusan akan lebih afdal apabila diambil melalui pertimbangan aspek sosial dan emosional. Karena sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial yang sangat membutuhkan orang lain. Aspek sosial emosional akan mematangkan diri guru menjadi sosok yang humanis. Karena ia (guru) akan memiliki sudut pandang yang juga memperhatikan orang-orang yang ada di sekelilingnya (sosial). Sehingga ketia guru tsb mengalami pengalaman dilema etika (benar vs benar), maka ia akan mengambil keputusan yang berpihak kepada kemanusiaan yang memang dibenarkan adanya karena situasi serta kondisi yang mendesak/ khusus. Karena sebenarnya benturan-benturan yang ada pada regulasi itu sebenarnya ada, ketika ada situasi khusus yang memang belum pernah atau jarang terjadi sehingga belum diregulasikan dalam sebuah aturan. Maka dari itu, sebagai pemimpin pembelajaran, guru harus memiliki kematangan dalam kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial agar ia tidak memutuskan sesuatu karena sisi subjektif (satu sudut pandang) atau individualisme semata.

Guru juga hidup berdampingan dengan orang lain (masyarakat), sehingga kematangan aspek sosial dan emosional akan membantu guru dalam kesehariannya sebagai modal sosial. Ketika guru sudah matang secara sosial dan emosional, tentunya peran ini akan membelajarkan siswanya pula melalui keteladanan (secara sosial-emosional) guru tsb untuk menjadi pribadi yang memiliki resiliensi dan sebagai problem solver bagi orang-orang di sekitarnya.

Bagaimana pembahasan studi kasus yang fokus pada masalah moral atau etika kembali kepada nilai-nilai yang dianut seorang pendidik?

Studi kasus merupakan cara pemahaman teori berdasarkan praktik pengalaman yang terjadi pada orang lain. Studi kasus ini menurut saya sangat penting dalam mengasah dan menambah wawasan baru dari seorang pendidik. Semakin banyak kasus yang diperlajari atau ditangani secara langsung, maka pengalaman dan ketepatan pengambilan keputusan dari seorang pendidik juga akan lebih baik. Hal ini juga tentunya berlaku untuk segala studi kasus, termasuk kasus dilema etika dan bujukan moral.

Dalam pengambilan keputusan untuk masalah moral atau etika, memang aspek fondasi nilai-nilai yang ada pada seorang pendidik sangat berpengaruh pada kualitas keputusan yang ia ambil. Ketika ada nilai-nilai yang tidak terakomodir dalam pengambilan keputusan secara sendiri, maka dari itu seorang pendidik baiknya melibatkan orang lain dalam pengambilan keputusan. Misalnya melibatkan teman sejawat, kepala sekolah, atau pengawas. Mengapa hal ini penting? Karena dengan melibatkan pihak-pihak yang dianggap berkompeten dalam penyelesaian masalah kependidikan, maka pendidik bisa mendapatkan sudut pandang baru atau nilai-nilai baru yang diutarakan dari pihak lainnya yang dilibatkan. Alhasil, seorang pendidik bisa belajar dari asumsi nilai atau teori yang disampaikan oleh pihak-pihak yang dimintai bantuan. Sehingga ihwal ini bisa menjadi pembelajaran baru untuk pendidik sebagai makhluk sosial dan juga memperbaiki pola pikir serta sikap untuk lebih baik lagi dari hal yang disampaikan, termasuk juga memperkaya referensi pemahaman nilai jika nantinya akan menganalisis kasus moral atau etika lainnya di sekolah.

Bagaimana pengambilan keputusan yang tepat, tentunya berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman?

Setelah mempelajari modul 3.1 dan mendalaminya melalui wawancara bersama kepala-kepala sekolah, pengambilan keputusan bisa melalui identifikasi terlebih dahulu dengan pengumpulan fakta-fakta. Untuk lebih terencana dan terstruktur, kita bisa mempedomani 9 langkah pengujian dan pengambilan keputusan. Yang mana, keputusan-keputusan bisa diambil melalui pemahanan dan deskripsi dari 1) Mengenal nilai-nilai yang saling bertentangan; 2) Penentuan siapa saja pihak yang terlibat dalam kasus; 3) Pengumpulan fakta-fakta yang terjadi; 4) Pengujian benar vs salah, yaitu uji legal, uji regulasi, uji panutan, uji publikasi dan uji intuisi; 5) Pengujian paradigma benar vs benar; 6) Identifikasi prinsip resolusi, yaitu berpikir berbasis hasil akhir (ends based thinking), berpikir berbasis peraturan (rule based thinking), dan berpikir berbasis rasa peduli (care based thinking); 7) Investigasi opsi trilema; 8) Pembuatan keputusan; 9) Mereviu dan merefleksikan kembali keputusan yang telah dibuat.

Selain mempedomani 9 langkah ini dan sudah termasuk pula di dalamnya yaitu 4 paradigma dan 3 perspektif pengambilan keputusan, kita juga harus berpedoman pada nilai-nilai kebajikan yang dianut dan mempertimbangkan aspek sosial dan budaya lokal setempat. Hal ini dilakukan agar diperoleh keputusan yang terbaik dan mudah-mudahan tidak merugikan pihak-pihak yang terlibat, apalagi memunculkan permasalahan baru.

Apakah tantangan-tantangan di lingkungan sekitar untuk dapat menjalankan pengambilan keputusan terhadap kasus-kasus dilema etika ini? Adakah kaitannya dengan perubahan paradigma di lingkungan Anda (kontekstual)?

Saya pikir, setiap sekolah hampir memiliki kasus-kasus dilema etika. Misalnya, anak yang tidak memiliki kehadiran penuh namun ia sebenarnya membantu orang tuanya bekerja, selanjutnya ada pula anak yang lama menderita sakit dan ia memiliki kekurangan nilai untuk kenaikan kelas, serta ragam kasus lainnya yang pasti telah dan akan muncul hampir di setiap tahun pelajaran. Dari kasus-kasus dilema etika seperti ini, dapat diidentifikasi bahwa ada banyak tantangan yang ada dan tantangan yang berkembang selama kasus ini diselesaikan. Tantangan itu bisa dari orang tua yang bersikap apatis, kondisi internal guru-guru yang tidak harmonis, wali kelas yang cuek, kepala sekolah yang kaku dengan regulasi, dsb. Sehingga hal-hal ini bisa menggeser dan menambah paradigma yang awalnya hanya satu, bisa menjadi 2 paradigma yang berkembang atau lebih. Contohnya, jika paradigma yang dipakai yaitu paradigma justice vs mercy (keadilan vs kasihan) pada kasus anak yang jarang hadir namun ia sebenarnya bekerja untuk membantu orang tua, namun jika ada pihak tertentu yang tidak setuju bagi anak tsb untuk naik kelas, maka paradigma ini bisa berubah pada saat rapat menjadi paradigma individual vs community (individu vs komunitas) dan short term vs long term (jangka pendek vs jangka panjang).

Namun menurut saya, tantangan-tantangan yang ada dalam kasus-kasus yang terjadi, sebenarnya akan melatih kemampuan, naluri dan pola pengambilan keputusan seorang pendidik. Tantangan itu perlu, karena dari itu seorang pendidik akan memiliki kualitas yang tidak hanya baik secara pembelajaran, namun ia juga akan piawai dan efektif dalam memutuskan permasalahan-permasalahan dengan kebijaksanaan. Dan semua keberhasilan itu berasal dari tantangan-tantangan yang telah ia lewati, nilai-nilai yang ia terapkan, serta kolaborasi yang apik bersama pihak-pihak sekitar dalam penyelesaian permaslahan sosial (akomodasi sosial).

Apakah pengaruh pengambilan keputusan yang kita ambil ini dengan pengajaran yang memerdekakan murid-murid kita? Bagaimana kita memutuskan pembelajaran yang tepat untuk potensi murid kita yang berbeda-beda?

Hal ini sangat berpengaruh. Terutama ketika seorang pemimpin pembelajaran melaksanakan pembelajaran sosial emosional (PSE) dan pembelajaran berdiferensiasi atau berpusat pada murid, baik itu secara konten materi, proses pengelolaan kelas, dan produk penugasan yang diberikan oleh guru. Dalam pelaksanaan pembelajaran-pembelajaran ini, guru harus mampu memutuskan media, konten, proses dan produk penugasan seperti apa yang akan diberikan kepada murid. Artinya ada aspek "ketepatan" pembelajaran dengan memperhatikan kondisi murid, baik itu dari segi gaya belajar, minat, tingkat pemahaman, dan hal-hal lainnya. Sesuai dengan teori The Equalizer dari Tomlinson (2001). Dalam memutuskan pembelajaran yang tepat, guru harus memetakan terlebih dahulu kondisi murid, baik itu melalui asesmen formatif, observasi, dll. Ketika sudah didapatkan data awal siswa, guru sebagai pemimpin pembelajaran bisa menyiapkan konten yang bervariasi disesuaikan dengan kondisi awal siswa, berikut pula menyesuaikan dengan bagaimana proses pembelajaran dan produk penugasan yang diminati oleh siswa di sekolah.

Bagaimana seorang pemimpin pembelajaran dalam mengambil keputusan dapat memengaruhi kehidupan atau masa depan murid-muridnya?

Pemimpin pembelajaran merupakan sosok teladan dalam segala hal. Tidak hanya dari pengetahuan, keterampilan, sikap, namun ada pula keteladanan spiritual dan keteladanan sosial untuk murid-muridnya. Ketika seorang pemimpin pembelajaran tepat dalam mengambil keputusan, maka segala pihak yang terlibat dalam problematika yang ada tidak akan dirugikan, syukur-syukur tidak menimbulkan permasalahan yang baru. Pentingnya seorang pemimpin pembelajaran ini terletak pada kualitas keputusan yang ia ambil, baik itu dalam menyikapi permasalahan belajar siswa, sikap siswa, hingga permasalahan-permasalahan siswa yang relevansinya pada humanisme. Apalagi seorang pemimpin pembelajaran ini merupakan seorang wali kelas.

Pengambilan keputusan pemimpin pembelajaran memiliki dampak pada masa depan murid-muridnya. Misalnya dalam menentukan konten, proses dan produk penugasan dalam pembelajaran. Ketika seorang pemimpin pembelajaran tidak peka atau tidak berorientasi pada kebutuhan murid, bisa saja terjadi proses pembelajaran yang tidak optimal. Sehingga ihwal ini akan berpengaruh pada hasil nilai rapotnya, dan nilai rapot ini akan berpengaruh jika ada seleksi masuk sekolah/ perguruan tinggi selanjutnya dengan menggunakan nilai rapot. Selain itu, efek nilai ini juga berpengaruh terhadap kondisi mentalitas siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas dan pada kelas-kelas berikutnya yang lebih tinggi.

Apakah kesimpulan akhir dari pembelajaran modul materi ini dan keterkaitannya dengan modul-modul sebelumnya?

Modul 3.1 ini menjadi pembelajaran dalam ketepatan dalam menentukan keputusan-keputusan, termasuk keputusan di luar aspek pendidikan. Pada modul 1.1 tentang filosofi KHD, koneksi dengan materi pengambilan keputusan sebagai pemimpin ini bermanfaat sebagai fondasi bagi pendidik yang merupakan pemimpin pembelajaran agar mampu melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada murid, dengan segala latar belakangnya. Karena pendidik itu adalah gambaran Pratap Triloka KHD, yakni "ing ngarso suntulodo", yaitu guru sebagai teladan dan pemberi contoh, "ing madyo mangun karso", yakni guru sebagai pembangun semangat dan asa peserta didik, dan "tut wuri handayani", ialah  guru sebagai pendorong dari proses pendidikan si anak.

Untuk modul 1.2 tentang nilai dan peran guru penggerak, artinya koneksinya terdapat pada nilai-nilai guru penggerak yang menjadi dasar baik dalam menganalisis, menguji dan mengambil keputusan. Nilai-nilai yang relevan yaitu, berpihak pada murid, kolaboratif, inovatif, dan reflektif. Untuk koneksi ke peran-peran guru penggerak, ihwal ini terkoneksi dengan peran menjadi pemimpin pembelajaran, mendorong kolaborasi, menjadi coach bagi guru lain, mewujudkan kepemimpinan murid dengan guru sebagai teladan pembuat keputusan, dan menggerakkan komunitas praktisi dengan ketepatan-ketepatan pengambilan keputusan dalam program yang dilaksanakan bersama.

Dalam modul 1.3 tentang visi guru penggerak, modul 3.1 ini bermanfaat sebagai ketepatan dalam membuat visi guru penggerak. Yang mana kajian-kajian pada modul 3.1 ini menjadi dasar dalam mengembangkan pertanyaan-pertanyaan dalam tahapan BAGJA dan manifestasi  visi pembelajaran guru di sekolah.

Untuk di modul 1.4 tentang budaya positif, materi di modul 3.1 ini bermanfaat dalam memutuskan tindakan-tindakan yang tepat dalam mempraktikkan budaya positif di kelas. Misalnya dalam pemahaman nilai-nilai kebajikan, kesepakatan kelas, disiplin positif, upaya restitusi, dan syukur-syukur keteladanan guru dalam pengambilan keputusan ini bisa menjadi bagi bagian dari dunia berkualitasnya siswa di sekolah.

Koneksi modul 3.1 dengan modul 2.1 dan 2.2, yaitu tentang pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial emosional (PSE), yakni terdapat pada ketepatan guru dalam memutuskan pembelajaran-pembelajaran yang dilakukan. Misalnya menetapkan konten, proses dan produk penugasan yang disesuaikan dengan kondisi siswa (kebutuhan, gaya belajar, dan minat belajar). Melakukan pembelajaran yang sesuai dengan asesmen formatif dan observasi awal guru sebelum pembelajaran dilakukan. Selanjutnya, memutuskan agar produk penugasan untuk siswa disesuaikan dengan kebutuhan siswa, serta juga memutuskan untuk memasukkan unsur PSE sebagai bagian dari kemenarikan dan kebermaknaan pembelajaran agar mindfulness (kehadiran penuh) bagi para peserta didik.

Koneksi pada modul 2.3 tentang coaching dengan modul 3.1 ini bermanfaat agar praktik coaching bisa menjadi wawasan baru bagi coach terkait problematika yang dihadapi coachee. Hal ini juga bisa bermanfaat terbalik, atau bermanfaat bagi coachee itu pula, yaitu beberapa keputusan dan pengalaman coach dalam berbagai dilema etika, hal ini bisa membuat pertanyaan-pertanyaan pada proses coaching dari coach lebih berbobot, karena kasus-kasus yang dialami coachee telah dialami oleh coach sebelumnya. Sehingga coach akan memutuskan pertanyaan-pertanyaan yang tepat dan ini akan membuat keputusan yang dibuat oleh coachee menjadi lebih berkualias dan solutif.

Sejauh mana pemahaman tentang konsep-konsep yang telah dipelajari di modul ini, yaitu: dilema etika dan bujukan moral, 4 paradigma pengambilan keputusan, 3 prinsip pengambilan keputusan, dan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan. Adakah hal-hal yang di luar dugaan?

Dilema etika dan bujukan moral adalah gejala-gejala sosial yang pasti terjadi di satuan pendidikan. Dilema etika itu sendiri terjadi ketika ada regulasi yang berbenturan dengan nilai-nilai kebajikan/ kemanusiaan, sehingga ada deskripsi pola benar vs benar dalam situasi tsb. Untuk bujukan moral, ini terjadi ketika ada suatu situasi yang berbenturan dengan regulasi, namun ada opsi-opsi tindakan yang sebenarnya ini tidak sesuai dengan regulasi bahkan hukum (legal), akan tetapi sebenarnya layak untuk diapresiasi. Karena telah menggunakan pikiran, tenaga, dan aspek lainnya. Akan tetapi, semua hal yang berkaitan dengan dilema etika dan bujukan moral, ada baiknya dianalisis melalui 9 langkah pengujian dan pengambilan keputusan, yang mana di dalamnya sudah memuat pemetaan kasus dalam 4 paradigma pengambilan keputusan, yaitu: 1) Individu vs kelompok; 2) Keadilan vs kasihan; 3) Kebenaran vs loyalitas; 4) Jangka pendek vs jangka panjang, serta 3 perspektif pengambilan keputusan, yakni: 1) Berpikir berbasis hasil akhir; 2) Berpikir berbasis kepedulian; dan 3) Berpikir berbasis peraturan.

Hal yang terduga pada materi modul 3.1 ini yaitu, ada hal yang mempermudah dan meningkatkan kualitas pengambilan keputusan sebagai pemimpin bagi saya. Pada materi modul 3.1 ini, kita bisa mempedomani 9 langkah pengujian dan pengambilan keputusan. Yang mana, keputusan-keputusan bisa diambil melalui kajian dari 1) Mengenal nilai-nilai yang saling bertentangan; 2) Penentuan siapa saja pihak yang terlibat dalam kasus; 3) Pengumpulan fakta-fakta yang terjadi; 4) Pengujian benar vs salah, yaitu uji legal, uji regulasi, uji panutan, uji publikasi dan uji intuisi; 5) Pengujian paradigma benar vs benar; 6) Identifikasi prinsip resolusi, yaitu berpikir berbasis hasil akhir (ends based thinking), berpikir berbasis peraturan (rule based thinking), dan berpikir berbasis rasa peduli (care based thinking); 7) Investigasi opsi trilema; 8) Pembuatan keputusan; 9) Mereviu dan merefleksikan kembali keputusan yang telah dibuat.

Yang paling tak terduga bagi saya dalam pembelajaran modul 3.1 ini yaitu, ada nilai kemanusiaan yang harus dimasukkan dalam pengambilan keputusan. Artinya, sebagai seorang pemimpin, kita harus mempertimbangkan pengambilan keputusan yang terbaik secara nilai-nilai kebajikan dan sosial, serta tidak berbenturan dengan regulasi yang berlaku. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan win win solution dari dilema etika atau kasus bujukan moral yang dialami.

Sebelum mempelajari modul ini, pernahkah menerapkan pengambilan keputusan sebagai pemimpin dalam situasi moral dilema? Bilamana pernah, apa bedanya dengan yang dipelajari di modul ini?

Pernah, terutama dalam menyikapi kehadiran, pembelajaran, dan sikap siswa di kelas serta relevansinya pada pemberian nilai siswa. Secara umum, saya sudah mempertimbangkan pada sebagian aspek di 4 paradigma dan 3 perspektif pengambilan keputusan. Namun modul 3.1 ini membelajarkan saya pada pengujian pengambilan keputusan melalui 9 langkah-langkah yang terstruktur dan sistematis. Sehingga tambahan pembelajaran di modul 3.1 ini semakin membuat saya lebih mempertimbangkan aspek moralitas, kemanusian dan kontekstualisasi dari dilema etika/ bujukan moral yang terjadi di dunia pendidikan. Menurut saya, 9 langkah-langkah ini menjadi pemetaan yang sangat baik dalam mengidentifikasi, menganalisis, membuat keterhubungan, hingga menguji keputusan dengan aspek "pembuktian benar vs salah".

Bagaimana dampak mempelajari konsep ini, perubahan apa yang terjadi pada cara dalam mengambil keputusan sebelum dan sesudah mengikuti pembelajaran modul ini?

Dampak mempelajari modul 3.1 ini sangat besar bagi saya, terutama dalam mengubah pola pikir dan praktik-praktik lapangan agar lebih humanis dalam menyikapi dilema etika permasalahan pendidikan. Sebelum mempelajari modul ini, pertimbangan-pertimbangan (pengujian) saya dalam memutuskan problematika pendidikan hanya sampai pada uji intuisi, uji regulasi, uji publikasi dan uji legal. Namun tidak ada uji panutan yang menjadi sudut pandang lain dalam mempertimbangkan suatu permasalahan. Sehingga materi pada modul ini memperkaya wawasan saya agar nantinya bisa objektif dan kontekstual dalam mengambil suatu keputusan. Tidak hanya itu, 4 paradigma dan 3 perspektif pengambilan keputusan juga semakin melengkapi diri saya guna menjadi sosok pemimpin pembelajaran yang berkualitas (tepat dan tidak memunculkan permasalahan baru) dalam pengambilan-pengambilan keputusan.

Seberapa penting mempelajari topik modul ini sebagai seorang individu dan sebagai seorang pemimpin?

Pembelajaran modul 3.1 sangat berarti sekali bagi saya. Karena pada modul ini ada teori, kasus, dan praktik-praktik lapangan yang tidak dipelajari pada perkuliahan guru pada umumnya. Yang sangat penting bagi saya terdapat pada materi 9 langkah pengujian dan pengambilan keputusan sebagai pemimpin. Secara teoritis, materi ini mengajarkan identifikasi pada struktur dan problem mapping dalam menguji serta untuk mempertimbangkan aspek-aspek tertentu agar nantinya tepat dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks pendidikan Indonesia, tentunya 9 langkah-langkah ini sangat bermanfaat agar pemimpin pembelajaran dapat menuntun kodrat anak dengan pengambilan-pengambilan keputusan yang berpusat pada kebutuhan murid.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun