Rara Anteng dan Jaka Seger telah berdiri di lereng bukit Penanjakan saat mentari telah beranjak dari balik bukit di sebelah timur.
Tak terdengar lagi kokok ayam jantan. Sepi.
Dipandangnya hamparan segara wedi yang diselimuti kabut tipis dengan hati yang gundah.
Saat kabut tipis mulai beranjak pelan mengalir ke timur tampaklah sebuah gundukan tanah seperti batok terbalik yang tak pernah ada sebelumnya.
Di bawah perbukitan seorang pria begundal yang tergila-gila kecantikan Rara Anteng berteriak menggelegar:
"Rara Anteng aku tak sanggup membuat ranu seperti yang kau pinta. Berbahagialah kamu bersama Jaka Seger."
Rara Anteng tanpa mengucap sepatah kata memeluk Jaka Seger, lelaki yang dicintainya.
Kini tak ada lagi penghalang untuk hidup bersama Jaka Seger.Â
Jaka Seger hanya termangu.Â
Di samping mereka beberapa tangkai edelweis yang mekar menebarkan aroma wangi yang lembut.
Wewangian edelweis tanda cinta abadi mereka.
Sedikit di kejauhan, seorang lelaki tua berdiri di puncak bukit memperhatikan dengan tatapan sedikit gundah.
Dalam hati ia lirih berseru, "Duh Dewa Batara mugi sakloron Jaka Seger kaliyan Rara Anteng gesang bebrayatan tansah rukun santosa ngantos dumugining gesang wonten kelanggengan."
0 0 0
Catatan:
Berdasarkan kisah tutur tinular Jaka Seger dan Rara Anteng masyarakat Suku Tengger, Desa Ngadas Poncokusumo, Kabupaten MalangÂ
Kamus:
* Segara wedi : lautan pasir di kaldera Bromo.
* Batok : tempurung kelapa.
* Duh Dewa Batara mugi sakloron Jaka Seger kaliyan Rara Anteng gesang bebrayatan tansah rukun santosa ngantos dumugining gesang wonten kelanggengan :Â
Duh Dewa Batara semoga mereka berdua Jaka Seger dan Rara Anteng hidup berkeluarga selalu rukun sejahtera hingga akhir hidupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H